"300: Rise of an Empire", Maaf Tidak Ada Momen "THIS IS SPARTA!" (Diganti "You Fight Better than You Fuck")

Ade Irwansyah | 10 Maret 2014 | 16:33 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - SEBUAH film sekuel dibuat dengan beragam alasan. Tapi yang utama, agar sebuah film diberi lampu hijau dibuatkan sekuelnya, film pertamanya harus sukses dahulu, baik secara artistik dan terutama, komersil.

300 (2006) adalah sebuah pencapaian baik artistik maupun komersil. Dari sisi artistik, 300 yang dibesut Zack Snyder menawarkan sesuatu yang baru bagi pecinta film. 300 menyuguhkan sebuah film yang berlatar Yunani kuno dengan tampilan visual yang beda dengan film sejenis semacam Troy atau Spartacus atau Ben Hur yang realis.

Selayaknya sebuah novel grafis karya Frank Miller dari mana kisah filmnya bermula, Snyder meminjam elemen-elemen komik sehingga menontonnya seperti membaca komik dalam wujud gambar bergerak. Snyder, misalnya, tampak mengeksagerasikan banyak elemen di film, tapi di saat bersamaan masih bisa diterima nalar.

Adegan pertarungan atau segala banjir darah di 300 dibuat penuh gaya dan hasilnya malah yerlihat sedap dipandang ketimbang mengerikan.

Nah, sukses artistik ini rupanya hendak diulang lewat film lanjutannya, 300 Rise of an Empire.

Di film kedua ini, Snyder tak duduk di bangku sutradara. Jadwal pembuatan film ini rupanya bentrok dengan jadwal Snyder yang waktu sibuk menggarap Man of Steel. Namun, tanda tangan Snyder tak hilang sepenuhnya di film ini. Ia tetap mengawasi sebagai produser sekaligus ikut menulis naskah. Kursi sutradara diisi Noam Murro.

Jadi, sejatinya, Murro dipilih sebagai sutradara untuk bekerja sebagaimana template yang sudah dibuat Snyder di film pertama. Ia cukup meniru look dan feel film terdahulu. Untuk hal ini Murro bolehlah dibilang berhasil. Sebagai penonton, kita membayangkan ada deretan daftar hal yang harus ada di film sekuel 300 untuk dikerjakan Murro: adegan laga dramatis? Ada; darah muncrat kemana-mana? Ada; kepala dipenggal? Ada; pria-pria six pack? Ada; efek visual dahsyat yang makin mendramatisir laga? Ada; langit yang mendung gelap terus? Ada.
 
Ya, semua formula yang ada di 300 ada di 300: Rise of an Empire. Maka, sejujurnya tak ada yang istimewa di film kedua ini. Nyaris tak ada perbedaan artistik berarti antara di antara dua film tersebut. Kalau pun ada yang ditambahi, kali ini sineasnya sedikit memberi adegan seks (yang sayangnya di bioskop sini, tampaknya dipotong dan tersisa awal dan ujungnya yang sebentar).  

Saya lantas berpikir, hmmm... mungkin niatan sineasnya menyuguhkan tata artistik yang sama lantaran bukan hal itu yang ingin dikejar di film kedua ini. Sieasnya mungkin juga menyadari terobisan yang mereka lakukan di film pertama takkan mungkin dilampaui di film kedua.

Yang bisa dilakukan sineasnya ya memang tinggal menyuguhkan perkelahian yang lebih berdarah dan perang yang lebih kolosal plus pengisahan yang sedikit dibuat lebih kompleks.

300: Rise of an Empire bukan sepenuhnya sekuel dalam arti kisah lanjutan dari film sebelumnya. Film ini mengisahkan rentang waktu yang sama dengan film pertama ditambahi latar belakang serta kelanjutan dari cerita di film pertama.

Di film kedua, kita diberi tahu pangkal persoalan kenapa bangsa Persia menyerang Yunani, termasuk negara-kota Sparta yang digambarkan di film pertama. Pangkal soalnya ternyata Xerxes ingin membalas dendam atas kematian ayahnya, Raja Darius yang dibunuh tentara Yunani (dalam hal ini, prajurit itu adalah Themistokeles [diperankan aktor Australia Sullivan Stapleton]).

Sementara Raja Xerxes memimpin peperangan melawan 300 prajurit Sparta yang dipimpin Leonidas (ini terjadi di film pertama), armada laut Persia yang dipimpin Artemesia (Eva Green) menyerang Yunani.

Pertarungan laut penuh trik dan intrik pun terjadi. Bagian perang di laut ini sungguh memanjakan mata meski efek 3D-nya nyaris tak memberi sensasi apa-apa. Murro, sang sutradara, sepertinya tak hendak membuat gebrakan kreatif artistik baru. 300: Rise of an Empire sekadar meneruskan cerita dengan resep baku yang sudah ada.           

Menyangkut akting pemain, kelihatan betul Stapleton diberi dialog yang memungkinkannya memberi banyak berpidato, menyemangati pasukan maupun berkotbah akan pentingnya mempertahankan demokrasi Yunani. Namun, Stapleton bukan Gerard Butler si Leonidas di 300. Stapleton tak punya kharisma seperti Butler. Selepas nonton 300, kita masih terngiang terus teriakannya, "THIS IS SPARTA!" Maaf, tak ada momen yang membekas seperti itu usai nonton 300: Rise of an Empire.

Kalaupun ada yang dikenang dan mencuri perhatian dari film ini terletak pada sosok Artemesia yang dimainkan Green dengan gemilang. Kita diberitahu latar belakang hidupnya yang menyedihkan. Kita nyaris dibuat simpati padanya. Namun, bagaimanapun Artemesia adalah tokoh antagonis. Tak sepatutnya kita bersimpati padanya. Tapi mau bagaimana lagi, di saat tokoh utama kurang menarik perhatian, penonton mau tak mau lebih menaruh perhatian pada sosok lain.  

Syahdan, selepas nonton bukan ucapan Themistokeles yang kita ingat, melainkan Artamesia: "You fight better than you fuck."   
    
(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait