Dear Gebetan, Sekarang Kamu Tahu Kan Rasanya Dicampakkan?

Wayan Diananto | 15 Januari 2017 | 08:50 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Saya terbahak-bahak ketika gebetan tiba-tiba menghubungi saya via BlackBerry Messenger (BBM), pekan ini. Ia mengajak saya bertemu lagi.

Ajakan itu saya balas dengan pertanyaan, “Bukannya kamu masih jalan dengan dia?” Beberapa detik kemudian ia menjawab, “Saya sudah putus.” Membaca jawaban itu saya ngakak.

Lebih ngakak membaca BBM gebetan diputusin pacar ketimbang nonton film komedi yang box office.

BBM-ku Di-read Doang

Saya tertawa karena merasa menang. Beberapa hari sebelum peristiwa itu, kami berjumpa. Kami berkencan manja beberapa kali. Awalnya, dia mengaku sudah putus. Belakangan, ia mengaku nyambung lagi. Sejak nyambung lagi, ia tak pernah menghubungi saya. Jangankan menghubungi. Saya kirim pesan lewat BBM saja, cuma di-read. Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa pesan saya sengaja tidak dibaca. Namun, ia rajin mengganti status dan foto profilnya. 
Bayangkan pembaca, saya diperlakukan seperti itu. Lalu datanglah masa-masa yang saya nantikan. Masa dimana saya senyum-senyum sendiri membaca statusnya. Ia menulis status, “Lebih baik sendiri kayak gini.” Beberapa hari kemudian, “Manis kalau lagi ada maunya.” Dan seterusnya. 
Klimaksnya ya, itu tadi. Ia menghubungi saya, ingin bertemu. Masalahnya, ego dan gengsi saya ini sangat tinggi. Tingginya melampaui menara BNI 46 dan Sahid Sudirman Tower, Jakarta. Saya menolak ajakanya dengan alasan, “Saya sedang PDKT dengan orang lain.” 

Siapa yang sedang mendekati saya? Tidak ada. Fiktif. Saya bohong! Yang terjadi kemudian, orang ini menghapus saya dari kontak pertemanan BBM? Saya makin tertawa nyaring. Saya benar-benar merasa menang. Dalam hati saya berkata, “Sekarang kamu tahu kan rasanya dicampakkan?”

Ternyata, Dia Hanya Menjadikanku Tempat Pelarian
Saat itu, sahabat saya yang cerewetnya minta ampun berkicau nyinyir. “Jij merasa menang. Menang dari siapa?” Mata saya langsung mendelik demi mendengar pertanyaan itu.

“Menang dari deseu, lah!”
“Menang dalam hal apa?”
“Heh, dia dulu ngakunya udah putus. Lalu mendekati gueh. Buat apa? Buat memberi tahu si pacar bahwa dia sudah dapat yang baru. Dia mau memberi tahu pacar bahwa dalam hitungan jam langsung dapat ganti. Seolah dia itu yang naksir seabrek. Ya sih, mukanya mirip artis sinetron yang wow banget. Tapi maaf ya, akika tolak deseu. Akika menang!”
“Caranya?” tanya si teman. Kali ini, dahinya mengernyit.
“Dengan bilang kalau eike sudah didekati orang lain dong, Jeung.”
“Faktanya?”
Eike bohong!”
“Dengan berbohong, jij merasa menang?” Pertanyaan yang ini entah kenapa tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Malah tampak seperti sebuah pisau yang sekonyong-konyong menusuk perut saya, dengan pola tusukan melingkar berulang-ulang. Sakit sekali rasanya.
Jij kenapa sih? Selalu nyinyir kalau sama eike. Memangnya kenapa sih kalau eike bohong sama deseu? Deseu menjadikan gueh pelarian buat mancing pacarnya balik. Dan sekarang mereka putus. Dia mau balik ke gueh. Gueh hempas deseu. Habis perkara! Apa susahnya sih jij bilang sama eike: Turut berbahagia ya, Wayan! Susah banget, ya?”

Teman saya tak menjawab. Suasana menjadi sangat-sangat garing. Dada saya rasanya sesak. Sesak karena menyadari, apa yang diucapkan teman saya ini benar adanya. Pertama, saya ini jahat karena tertawa diatas penderitaan orang lain. Meski orang lain ini telah menyakiti saya. Kedua, saya ini pecundang karena menganggap kebohongan bentuk lain kemenangan. Ketiga, kalau mau jujur, saya melakukan ini sebenarnya untuk menghibur diri sendiri.
Kasihan sekali saya ini. Berbohong untuk membahagiakan diri sendiri. Denial. Tidak berani menghadapi fakta bahwa bukan saya yang dipilih.

Saya hanya tempat pelarian seperti lagunya Mas Afgan: Terlalu sadis caramu menjadikan diriku pelampiasan cintamu, agar dia kembali padamu. Tanpa peduli sakitnya aku. Karena sakit hati dan gagal menangkis fakta, saya berbohong. 

Menang Dadi Areng, Kalah Dadi Awu
Sejak itu, pikiran saya makin kotor. Saya merancang banyak cara untuk menyakitinya lebih dari apa yang saya lakukan saat ini. Mayoritas rencana itu berisi kebohongan yang lebih baru. Dan lebih menyakitkan tentunya. Apa boleh buat. Tuhan masih menyayangi saya. Ia tidak ingin hambanya yang begok ini makin jauh dari kewarasan.
Kemarin, saya membuka beberapa file wawancara saya dengan beberapa artis. Pandangan saya tertuju pada rekaman percakapan saya dengan runner up Indonesian Idol, Delon. Kala itu, saya bertanya, “Sudah mencoba beberapa cara agar cepat punya momongan, namun belum diberi Tuhan. Apa yang Anda lakukan?” Delon menjawab, sabar, tetap berusaha, dan berpikir positif. 

Jika masa-masa sensitif merangsek masuk ke alam pikiran, Delon berupaya mengubah pola pikir. “Mungkin, Tuhan mau saya dan Yeslin menikmati masa-masa berdua dulu. Mengingat kalau sudah memiliki anak, enggak bisa leyeh-leyeh lagi. Ada yang tertekan, malah.”
Judika yang sudah punya dua anak bercerita kepada Delon, nanti kalau sudah memiliki anak mesti hati-hati. Satu dua tahun pertama kurang tidur. “Saya membatin: ngeri juga nanti kalau sudah diberi momongan. Tapi bukan berarti saya tidak siap untuk menjadi ayah. Kalau belum siap mental untuk menjadi ayah, ngapain saya nikah?” lanjutnya.
Mendengar jawaban Delon saya malu. Malu terhadap diri sendiri. Saya dan Delon berusia kepala tiga. Bedanya, saya belum nikah (belum punya pacar, malah!), Delon sudah. Tapi bukan itu poinnya. Delon bisa berpikir positif sementara saya gagal melulu. 

Ketika kejadian buruk menimpa, saya berinisiatif “meringankan” pekerjaan Tuhan dengan membalas. Yang memalukan, cara saya membalas malah memperlihatkan betapa dangkalnya saya memandang persoalan. Saya membalas dengan berbohong. Di belahan bumi mana pun, bohong itu bukan sinonim dari kata “menang”. Saya merasa menang. Tapi hanya sesaat. Setelah kemenangan dirayakan, saya ditindas oleh rasa sesak. Dan malu. Dan menyesal. Dan lain-lain.


Pepatah Jawa mengatakan, menang dadi areng, kalah dadi awu (Dalam sebuah pertengkaran, yang menang menjadi arang, yang kalah menjadi abu). Arang adalah sisa kayu yang terbakar lalu menghitam. Abu juga sisa kayu yang terbakar, lalu menjadi remah-temah. Yang menang dan yang kalah pada akhirnya bernasib sama: menjadi sisa. Tak ada yang layak dibanggakan.

(WAYAN DIANANTO / Ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait