Jokowi: Gagasan Pemindahan Ibu Kota Muncul di Era Presiden Soekarno

TEMPO | 30 April 2019 | 09:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Keputusan ini diambil pada rapat terbatas yang diadakan di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 29 April 2019.

Jokowi mengatakan pemindahan Ibu Kota bukanlah wacana baru. "Gagasan pemindahan Ibu Kota sudah lama muncul sejak era Presiden Soekarno. Sampai di setiap era presiden pasti muncul gagasan itu," kata Jokowi.

Menurut mantan Gubernur DKI itu, wacana pemindahan selalu timbul lalu tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang. Padahal, beberapa negara sudah mulai mengantisipasi perkembangan negaranya di masa yang akan datang dengan memindahkan pusat pemerintahan. "Saya kira kita contohkan banyak sekali, baik Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan. Kita ingin kita berpikir visioner untuk kemajuan negara ini," ujarnya.

Pemindahan Ibu Kota negara pernah disebut dua kali oleh Presiden pertama, Sukarno. Pertama, saat meresmikan Palangka Raya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Saat itu, Bung Karno ingin merancangnya menjadi ibu kota negara. Hal itu menurut Bung Karno sudah tertuang dalam masterplan yang ia buat sendiri dalam pembangunan kota tersebut pada masa kemerdekaan.

Kedua, dengan gaya retorikanya Bung Karno kembali menyebut Palangka Raya sebagai calon ibu kota negara pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.

"Mari kita jadikan Jakarta dan Surabaya sebagai kota-kota mati. Kedua kota besar itu bagi saudara-saudara kita di luar Jawa ibaratnya sudah menjadi Singapura dan Hong Kong-nya Indonesia. Modal hanya berpusat di kedua kota besar itu, dan seolah-olah mengeksploitir daerah-daerah di luar Jawa."

Di era kepemimpinan Soeharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali dengan mengusulkan daerah Jonggol, Bogor, sebagai Ibu Kota negara.

Pemindahan ibu kota kembali ramai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010. Waktu itu SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total.

Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Presiden waktu itu mencontohkan Malaysia, yang beribu kota di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahannya di Putrajaya. Terakhir, membangun ibu kota baru, seperti Canberra (Australia) dan Ankara (Turki).

Opsi itu muncul kembali setelah Jakarta dilanda banjir besar pada 2013. "Presiden tak tabu membicarakan pemindahan ibu kota," kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah di era SBY, Velix Wanggai.

Di era pemerintahan Jokowi, wacana tersebut muncul pada 2017, kemudian dibahas lagi pada 2018, dan terakhir dalam ratas pada Senin kemarin. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menawarkan tiga alternatif kajian pemindahan Ibu Kota. Alternatif pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun dibangun distrik khusus pemerintahan di Istana dan Monas. Alternatif kedua, ibu kota berada di kawasan Jabodetabek. Sedangkan alternatif ketiga berada di Pulau Jawa.

Dari ketiga alternatif tersebut, Jokowi memilih alternatif terakhir yaitu memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. "Kalau saya, alternatif satu dan dua sudah tidak," katanya.

TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor : TEMPO