23 Tahun Kematian Putri Diana: Ibu yang Hebat, Istri yang Tak Bahagia

Redaksi | 31 Agustus 2020 | 13:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Putri Diana wafat pada 31 Agustus, 23 tahun lalu. Ia tewas secara mengenaskan; mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan berat di sebuah terowongan di Paris, Prancis. Kematian sang putri yang sangat dicintai itu kemudian membuat dunia menangis. Sepekan setelah wafat, persisnya pada 6 September 1997,  upacara pemakaman ibunda Pangeran William dan Harry itu dihelat. Sekitar 2,5 miliar orang menyaksikan acara itu lewat televisi--menjadikannya sebagai peristiwa yang paling banyak ditonton di televisi sepanjang  sejarah dunia. 

Berikut adalah sejumlah tulisan mengenang kematian Putri Diana. Sebagian besar dimuat di edisi Tabloid Bintang Indonesia yang terbit pada September 1997 lalu. 

                                                                                                                        ***

Sukar mencari kata sepakat untuk mendefinisikan kepribadian Putri Diana. Sebagian menjulukinya Santa. Sebagian lagi justru menganggapnya berkepribadian sulit. Tapi semua pasti sepakat kalau Putri Diana ibu yang hebat bagi Pangeran William dan Pangeran Harry. 

Begitu mendapati dirinya mengandung William, Putri Diana yang kala itu baru berusia 20 tahun, sudah menunjukkan tanggung jawab besar. Ia, misalnya, dengan tegas menolak obat-obatan dari dokter. Padahal selama mengandung, Diana sering jatuh sakit akibat didera jadual penampilan publik yang luar biasa padat. 

Lantas Diana berkeras untuk memilihkan sendiri nama bagi kedua putranya. Putra pertamanya yang mirip ayahnya, diberi nama depan William, kendati sang ayah memilihkan nama Arthur. Nama pilihan Pangeran Charles itu hanya menjadi nama tengah. Putra sulung mereka akhirnya bernama William Arthur Philip Louis. Adik William semula diinginkan bernama Albert oleh sang ayah. Lagi-lagi Diana menolak, dan memilihkan nama Henry, untuk kemudian dipanggil Harry. Si bungsu berparas semanis Diana itu, akhirnya bernama panjang Henry Charles Albert David. 

Perkara pengasuhan anak, juga diseriusi Diana. Ia menentang keinginan istana untuk mempekerjakan pengasuh (nanny) bagi anak-anaknya. Diana memilih membesarkan sendiri kedua buah hatinya, tak peduli betapa padat jadual kerjanya. Diana juga menolak niat pihak istana untuk menyewa pengajar khusus  (governess) untuk mendidik Pangeran William dan Harry di kediaman mereka. Ketimbang menyekap kedua jagoan ciliknya itu di balik dinding-dinding kerajaan, Diana memasukkan mereka ke sekolah umum agar bisa bersosialisasi. 

Kepedulian Diana pada pendidikan William dan Harry tak berhenti di situ. Tiap kali sekolah Harry mengadakan lomba lari para ibu, Diana -- yang dikagumi orang karena keanggunannya -- tak segan ikut bertarung. Buktinya bisa dilihat dari hasil jepretan seorang fotografer tahun 1991. Di situ Diana nampak sangat bersemangat mencapai garis finish secepat mungkin. Tahun itu Diana cuma duduk di urutan keempat, setelah tahun sebelumnya keluar sebagai pemenang. 

Juga karena tak mau anak-anaknya menjadi aristokrat congkak, Diana tak pernah mengajak mereka berlibur di kastil-kastil kuno. William dan Harry justru diajaknya menikmati liburan versi keluarga kebanyakan: piknik ke pantai, menikmati pasir dan sinar matahari. 

Kecintaan yang besar terhadap William dan Harry jugalah yang membuat Diana sempat mengulur-ulur perceraian. Ia takut kalau-kalau perceraian mengucilkannya dari buah hatinya. Sebagai korban perceraian, Diana melihat sendiri bagaimana ibu kandungnya kehilangan hak asuh. Baru pada hari Minggu tanggal 28 Juli 1996, 15 tahun kurang sehari usia pernikahannya, Diana resmi bercerai. 

Selepas meninggalkan istana yang bertahun-tahun dihuninya, Diana -- untunglah -- tak harus kehilangan statusnya sebagai ibu. Kuantitas pertemuan memang menyurut, tapi kualitasnya tidak demikian. Makin lama Diana justru terbukti sebagai ibu yang hebat. Ia seperti ingin menebus kegetiran masa lalunya. Tak pernah ia kehabisan akal untuk menyenangkan kedua putranya. Mulai dari jalan-jalan ke taman hiburan; nonton film di bioskop; nonton pertandingan tenis Wimbledon; nonton pacuan kuda; mampir ke kedai untuk jajan hamburger; berkunjung ke toko permen; memilih video; melakukan aneka olahraga seru (surfing, jet ski, arung jeram), dan lain-lain kesenangan. 

Tapi bukan cuma itu yang diajarkan Diana. Pada usia belia, William dan Harry sudah dididiknya untuk melakukan tugas-tugas sosial. Mulai dari mengajak bertukar pikiran mengenai kampanye AIDS, mendorong untuk memberikan pidato pada pertemuan antara Diana dan stafnya, sampai mengajak mereka mengunjungi panti tunawisma. Semua itu menunjukkan kalau Diana adalah ibu yang berambisi menjadikan anak-anaknya sebagai orang yang berhasil. Kelak bila tahta kerajaan diwariskan pada William, setidaknya si sulung itu sudah tak canggung lagi. 

Lantas bagaimana Diana sebagai seorang istri? Ini yang agaknya sukar dijawab. Sebab, perkawinan Diana-Charles sudah kompleks sedari awal. Banyak yang menuding Charles sebagai suami yang buruk, terutama karena perselingkuhannya dengan Camilla Parker-Bowles yang istri orang lain. Tapi ada juga -- dan jumlahnya jauh lebih sedikit dari kelompok pertama -- yang malahan menyalahkan Diana sebagai istri yang terlalu banyak menuntut. 

Tapi, biar bagaimana, Diana sebenarnya sangat ingin menjadi istri yang baik bagi Charles. Seperti ditulis Andrew Morton dalam buku Diana: Her New Life (Simon & Schuster, 1994), Diana sesungguhnya sangat mencintai Charles. Bahkan, demikian Morton, di saat-saat paling buruk perkawinan mereka. Tak jarang Diana mengabaikan dirinya, dan malahan sibuk memikirkan rencana-rencana Charles, kondisi kesehatannya, dan juga citra publiknya. Diana juga khawatir, Charles tak akan pernah menjadi raja. Menurut teman-teman dekat Diana, sebenarnya sang putri tak keberatan untuk rujuk, andaikan saja Charles bersedia mengakui kesalahannya, andaikan saja Charles mau menghargai keberhasilan-keberhasilan Diana, andaikan saja Charles punya kemauan untuk menghentikan perselingkuhannya. Andaikan saja.... 

 

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi