Squid Game Jadi Trending Global, Apa Dampak Film Bergenre Ini Bagi Penonton?

Redaksi | 15 Oktober 2021 | 12:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Serial drama permainan bertahan hidup, Squid Game, sedang menjadi pembicaraan di media sosial. Bahkan, banyak cuplikan adegan film ini yang dijadikan meme. Singkat cerita, serial ini berhasil memenangkan hati penonton Netflix di seluruh dunia.

Sejak tayang perdana pada 17 September 2021, serial drama keluaran Netflix ini langsung menduduki trending 1 di 83 negara yang menyediakan layanan streaming Netflix. 

Ted Sarandos, co-CEO Netflix berkata Squid Game saat ini menjadi pertunjukan terbesar sejarah Netfix dalam bahasa apa pun. Namun, mengapa serial survival games satu ini bisa menjadi sangat populer dan bisa dinikmati oleh banyak penonton di berbagai negara?

Daya tarik

Menurut Ranny Rastati, peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebut setidaknya ada empat alasan kenapa Squid Game mampu membuat siapa pun menikmatinya.

Dia mengatakan, Squid Game sangat menggambarkan realitas kehidupan saat ini. Kondisi ekonomi yang sulit karena pandemi ini membuat banyak orang mengalami kondisi kesulitan keuangan.

Di tengah keputusasaan akan kesulitan ekonomi, lanjut Ranny, ada secercah harapan untuk memperbaiki nasib melalui game yang berhadiah uang miliaran won. 

Tak hanya itu, dia menjelaskan plot twist yang ditampilkan dalam Squid Game, menjadi candu bagi para penonton. Plot twist ini mampu memberikan sensasi kejutan bagi penonton.

Ranny juga menilai aspek kemanusiaan yang digarap film serial tersebut berhasil dikemas dengan apik pada saat yang tepat. Kemudian mereka bertaruh tentang kakek pengemis yang diacuhkan di pinggir jalan.

Lebih dari itu, ending film itu menunjukkan bahwa dunia ini masih memiliki nilai kemanusiaan. “Manusia tidak melulu memiliki sikap dan sifat individualistik dan egois. Sebab masih ada kebaikan di luar sana,” lanjut dia.

Dampak psikologis

Film bergenre thriller yang mengandung kekerasan seperti Squid Game atau sejenisnya dikhawatirkan banyak kalangan dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi psikologis masyarakat. 

Dokter spesialis kedokteran jiwa Agung Frijanto pernah berujar ada sejumlah kelompok yang memang rentan untuk terkena dampak psikologis akan tontonan slasher, horror, thriller, dan sejenisnya, yakni kelompok usia balita, anak-anak, dan remaja awal.

Kategori usia menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2009 sendiri yakni balita 0-5 tahun, kanak-kanak 5-11 tahun, remaja awal 12-16 tahun, remaja akhir 17-25 tahun, serta dewasa awal 26-35 tahun.

Sementara itu, Psikolog Klinis Anak dan Remaja Listya Paramita berpendapat, secara tahap perkembangan kognitif, usia 17 tahun memang sudah masuk dalam tahap operasi formal. 

Artinya, secara mental sudah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Jadi, mereka sudah mampu memaknai isi film dengan logis dan tepat ketimbang usia di bawahnya.

Sedangkan pada usia balita, anak-anak, dan remaja awal, menonton tokoh yang memiliki gangguan kejiwaan mungkin membuka peluang untuk menirukan perilaku abnormal sang tokoh. Oleh karenanya, dibutuhkan pendampingan untuk memaknai film ini bila ditayangkan di televisi.

Dia pun mengingatkan, dikhawatirkan pemaknaan anak tentang isi cerita yang tidak utuh, rentan membuat mereka salah tangkap dalam menilai respon abnormal tersebut dalam sebuah situasi normal.

Misalnya, mereka merasa 'boleh' atau 'wajar' untuk membunuh atau meluapkan kekerasan pada orang lain bila disakiti, sehingga bukan tak mungkin, anak akan akan meniru kekerasan yang dilakukan dalam film.

Penonton usia dewasa

Menurut Dokter spesialis kedokteran jiwa Agung Frijanto, terpengaruh atau tidaknya penonton usia 17 tahun ke atas dengan adegan film berkaitan dengan masalah mental yang sedang dialami oleh orang tersebut. 

Bukan tidak mungkin orang dengan kondisi depresi atau orang dengan kepribadian yang menyukai tindakan kekerasan bisa menjadikan perilaku dalam film sebagai referensi bila ia dihadapkan dalam situasi yang sama dengan sang tokoh.

Agung melihat bahwa orang yang rentan dengan kecemasan, sebaiknya melihat dulu sinopsis sebelum menonton film. Sebab, film bisa menimbulkan kecemasan. Bagi pencemas, dia menyarankan untuk mencari film yang lebih menghibur dan tidak memaksakan diri menonton film yang menimbulkan kecemasan.

Gangguan kecemasan sendiri timbul akibat masalah pada fungsi otak yang mengatur rasa takut dan emosi. Orang dengan gangguan kecemasan bisa merasa sangat khawatir atau takut terhadap berbagai hal sehingga mengganggu atau bahkan menggagalkan aktivitas sehari-hari.

Inilah yang membuat sebagian orang akhirnya 'trauma' setelah menonton sejumlah genre film, seperti takut untuk melakukan sesuatu, takut untuk pergi sendiri, hingga membayangkan hal-hal 'menakutkan' yang sebenarnya tidak terjadi.

Dengan kata lain, efek psikologi dalam sebuah tontonan dinilai sangat perlu dipahami, terutama bagi mereka yang sedang alami masalah mental, seperti mudah cemas, sedang stres, atau alami depresi, termasuk anak-anak di bawah usia.

Penulis : Redaksi
Editor: Redaksi
Berita Terkait