Tora Sudiro: Memangnya Ada yang Berani Menangkap Gue?

Wayan Diananto | 12 Agustus 2017 | 11:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Psikolog Lita Gading menilai, terciduknya Tora Sudiro bentuk kelalaian dalam memanfaatkan kesempatan kedua. Menurutnya, ada tiga alasan mengapa seseorang gagal menjawab kesempatan kedua. Pertama, gagal menghindari lubang yang sama. 

Sebaik apa pun kondisi anak-anak, akan lebih baik jika mereka berkumpul bersama orang tua. Tak ada yang mampu menggantikan kasih sayang dan kebersamaan dengan orang tua. 

Tora memang tidak mengulang kesalahan yang sama (dalam hal ini gagal berumah tangga). Namun, masalah hukum apa pun konteksnya tetap mencoreng karier yang baru saja dipulihkan. Lita menduga, ada sifat kekanak-kanakan yang membuat Tora lalai menggunakan masa lalunya sebagai spion kehidupan.

“Fungsi kaca spion untuk melihat ke belakang sesekali. Ingat, sesekali. Jangan terlalu sering. Jika terlalu sering, Anda akan tabrakan dan tidak sampai di tujuan,” cetus Lita. 

Sifat kanak-kanak yang dimaksud Lita adalah tidak berpikir panjang. Sukses yang dicapai tahun lalu membuat rasa percaya diri Tora Sudiro berlebih dan kelebihan itu tidak diimbangi dengan pola pikir yang matang.

Lita mengingatkan, jarak antara kasus Tora sangat berdekatan dengan Ammar Zoni, Pretty Asmara, dan Axel Matthew Thomas, putra Jeremy Thomas. Maka wajar publik bertanya-tanya, mengapa Tora tidak belajar dari kesalahan pesohor lain? 

Tora Sudiro menenggak Dumolid dengan dalih susah tidur. Lita menyebut bukan itu inti persoalan. Berkaca dari pengalaman Lita mengawal sejumlah artis yang tersandung kasus narkoba, mayoritas artis tak mau belajar karena merasa punya nama besar. Pernah, Lita menanyai beberapa artis yang dikawalnya dan mayoritas menjawab, “Memangnya ada yang berani menangkap gue?”

“Percaya diri berlebih, egois, dan kekanak-kanakan adalah kombinasi mematikan bagi artis saat bermain-main dengan narkoba,” simpul dia seraya menambahkan, solusi susah tidur bukan Dumolid semata. Susah tidur adalah penyakit psikologis. Mestinya, pasien menemui psikolog atau dokter spesialis untuk mendapatkan pengobatan. Benar, obat yang diberikan adalah penenang. 

“Dumolid, salah satunya. Namun, penggunaannya dalam dosis tinggi dianjurkan dengan pengawasan dan resep dokter. Setelah habis, pasien tidak akan disuguhi obat penenang lagi melainkan menjalani cognitive behavior therapy atau terapi perilaku kognitif,” pungkas dia.

 

(wyn / gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait