Membongkar Manipulasi dan Kejahatan Investasi Smelter Nikel China di Indonesia

tabloidbintang.com | 4 Maret 2022 | 00:10 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pemerintah terus berusaha menarik sebanyak-banyaknya investasi asing masuk ke Indonesia dengan harapan mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan negara. Beragam tawaran pun disuguhkan, mulai dari kemudahan dalam proses perizinan, fasilitas perpajakan dan tenaga kerja murah.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS), Marwan Batubara, segala fasilitas tersebut justru dimanfaatkan oleh korporasi asal China. Dengan dalih investasi, pada kenyataannya tak serupiah pun uang dari investasi tersebut masuk ke tanah air.

“Mereka (para korporasi asal China) memang membangun pabrik pengolahan (smelter) nikel di berbagai tempat, namun semua alat dan perlengkapan hingga tenaga kerjanya dibawa dari negara mereka. Lantas, Indonesia dapat apa?” ujar Marwan dalam webinar bertajuk “Kupas Tuntas Seputar Manipulasi Investor Smelter China di Indonesia,” Rabu (2/3).

Menurutnya, Indonesia hanya mendapatkan sampah industri nikel. Pasalnya, setelah diolah di smelter menjadi produk setengah jadi, kemudian diekspor ke China. Dengan begitu, nilai tambah yang diharapkan diperoleh Indonesia sangat rendah dibandingkan nilai tambah yang didapat negara China.

“Mereka mengeruk sumberdaya alam kita dengan harga yang sangat murah. Setelah diolah menjadi produk setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI) yang hanya memiliki kadar 4-9 persen kemudian diekspor ke negaranya, sehingga nilai tambah yang diharapkan diperoleh Pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan nilai tambah yang didapat negara China. Sementara sampah pabrik nikel tersebut menumpuk di negara kita, yang dimasa depan tentunya akan menjadi masalah yang sangat besar bagi bangsa kita,” ungkap Marwan.

Dia mengklaim bahwa investasi smelter nikel di tanah air telah menghancurkan alam tanah air. Alasannya, para investor China hanya menerima bijih nikel kadar tinggi sehingga sampah tambang yang berupa limonite (bijih nikel kadar rendah) yang jumlahnya dua pertiga dari penambangan menjadi gundukan tanah yang sewaktu-waktu dapat memicu bencana dan kerusakan lingkungan.

Tidak hanya itu, permasalahan yang lebih krusial adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Dengan dalih tenaga kerja lokal tidak memiliki skill yang dibutuhkan, mereka justru mengimpor tenaga kerja dari China. Padahal, tenaga kerja yang didatangkan tidak sesuai dengan regulasi di Indonesia.

“Mayoritas dari tenaga kerja asing yang mereka datangkan adalah pekerja kasar yang di dalam negeri sangat berlimpah, seperti petugas keamanan atau satpam, tukang las, operator alat berat, supir, dan lainnya,” ujar Marwan.

Menurutnya, klaim ini bukan isapan jempol semata. Bahkan, dua perusahaan China, PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS), telah mengumumkan perekrutan tenaga kerja di dua media berbahasa mandarin. Dari kedua media tersebut diketahui bahwa tawaran gaji yang diberikan sangat tinggi dibandingkan gaji bagi pekerja lokal. Sebagai contoh, untuk pekerjaan sebagai satuan pengaman diberikan gaji sebesar 10.000 yuan atau setara dengan Rp 22.800.000 (kurs 1 yuan = Rp 2.280).

Dari data yang diperoleh IRESS, tingkat pendidikan TKA asal China yang bekerja di industri nikel tanah air komposisinya adalah sebagai berikut, SD 8 persen, SMP 39 persen dan SMA 44 persen. Sementara lulusan D3/S1 hanya 2 persen dan berlisensi khusus cuma 7 persen.

Dari komposisi tersebut, yang bekerja di smelter OSS kualifikasi TKA-nya adalah lulusan SD 23 persen, SMP 31 persen dan SMA 25 persen, lulusan D3/S1 17 persen dan TKA berlisensi khusus hanya 4 persen. Sementara di smelter VDNI, hanya 1 dari 608 orang TKA yang memenuhi syarat pengalaman kerja 5 tahun.

“Permasalahan tidak hanya pada pelanggaran hukum ketenagakerjaan serta keimigrasian, namun untuk mengelabui hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan menutupi kejahatan ketenagakerjaan, maka sistem pembayaran gaji para TKA China dibayarkan kepada keluarganya di negara asalnya China. Dengan begitu, uang para pekerja tersebut tidak beredar di Indonesia dan tentunya terbebas dari PPH,” ujar Marwan.

IRESS memperkirakan potensi kerugian negara akibat manipulasi pajak dan DKPTKA sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA China ada 5.000 orang, maka potensi kerugian negara mencapai Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan jumlah smelter 20 buah (@ 5.000 TKA), maka total potensi kerugian negara Rp 3,78 triliun per tahun.

“Apa yang terjadi pada perusahaan smelter VDNI dan OSS ini patut diduga menjadi modus operandi berbagai investasi China lainnya yang beroperasi di Indonesia, sehingga perlu dilakukan audit secara menyeluruh,” tegas Marwan.

Penulis : tabloidbintang.com
Editor: tabloidbintang.com
Berita Terkait