Pesan Ir Ciputra: Anda Harus Berani Berpikir Positif

Harry Tjahjono | 3 Desember 2019 | 12:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Rabu, 27/11/2019, Ir. Ciputra, Chairman dan Founder Ciputra Group, berpulang di Singapura dalam usia 88 tahun. Jumat, 29/11, saya melayat Pak Ci yang disemayamkan di gedung Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta. Kamis, 5/12, Pak Ci akan dimakamkan di Pemakaman Keluarga, Desa Sukamaju, Jonggol. Semoga damai di haribaan Tuhan.

Saya mengenal Pak Ci tahun 1992 -1999, karena direkrut mengelola tabloid Bintang Indonesia (BI), kemudian Fantasi dan penerbitan lainnya. Ketika itu, saya yang masih Redakturmadya majalah Sarinah, diundang head-hunter dan ditawari memimpin BI yang sejak 1991 dikelola redaksi dan karyawan eks tabloid Monitor yang pada 1989 dibredel.

Awalnya saya ragu, karena sudah tujuh tahun bekerja di Sarinah, salah satu majalah wanita terkemuka selain Femina dan Kartini, dengan posisi lumayan mapan dan habitat kerja yang kebanyakan sastrawan. Selain itu, saya juga belum pernah mengelola tabloid.

Tapi, apa salahnya mencoba?

Setelah serangkaian wawancara, head-hunter mempertemukan saya dengan beberapa direksi pengelola BI, antara lain Pak Piek Mulyadi, mantan Wakil Gubernur DKI, sebelum akhirnya dipertemukan dengan Pak Ci.

Dalam pertemuan awal itu, Pak Ci menjelaskan visinya tentang media hiburan yang positif dengan bahasa lugas dan sederhana. Pak Ci meminta saya untuk mengutamakan berita yang positif. Sebab, masyarakat butuh hal-hal yang positif. Dengan demikian berita yang positif, selain bermanfaat, juga akan membuat penerbitan media bisa berkembang.

Pak Ci memberi contoh sukses harian Bisnis Indonesia, di mana ia salah satu pemiliknya, yang dalam waktu relatif  singkat bisa berkembang besar karena mengutamakan berita ekonomi yang positif dan membangun optimisme. Berbeda dengan yang mengeksploitasi berita negatif dan akhirnya sekarat.

Pak Ci menjelaskan visinya secara garis besar. Saya diminta bekerja dengan baik dan akan didukung penuh. Pak Ci juga menyampaikan bahwa selain dirinya, BI didukung tiga pemegang saham lain, yakni Sudwikatmono, Haris Lesmana dan Beny Suherman.

Pada saat itu, saya lebih banyak mendengar dan tidak menyampaikan rencana yang akan saya lakukan dengan BI. Saya hanya minta diberi kepercayaan penuh untuk bekerja, dengan analogi sederhana, bahwa jika saya perlu rokok merk A, yang harus dikontrol adalah apakah saya benar "membeli" rokok A dengan harga dan jumlah yang benar, dan bukan "ditawar" untuk diganti dengan rokok merk B. Pak Ci setuju.

Satu hal spesifik yang pertama kali harus saya lakukan adalah sedikit mengubah logo BI, yakni menutup huruf T yang bagian atasnya terbuka--sesuai saran dan masukan dari pakar fengshui.  Selain tugas mudah dan langsung saya lakukan, hal itu juga mencerminkan bahwa Pak Ci sungguh terbuka pada saran dan masukan dari orang lain karena, seperti pesannya kepada saya, "Anda harus berani berpikir positif."

Sebelum bekerja, saya menjenguk Mas Arswendo Atmowiloto (AA) yang saat itu menjalani hukuman di LP Cipinang. Saya merasa perlu menemui Mas AA untuk menyampaikan bahwa saya akan mengelola BI bersama kawan-kawan eks Monitor. Saya minta restu dan dukungan. Jauh sebelumnya, 1990 dan 1991, saya dan beberapa sastrawan pernah menjenguk Mas AA di LP. 

Waktu itu, tiras BI cukup bagus, sekitar 100.000. Kawan-kawan eks Monitor yang mengelola BI, berpengalaman dan tahu persis ihwal jurnalistik tabloid. Tapi, grafik penjualan dan iklan stagnan. Untuk itu, saya lakukan perubahan rubrikasi seperlunya. Antara lain menambahkan rubrik Jendela Rumah Tangga untuk mengakomodasi berita positif tentang artis, Resep Artis untuk membuka peluang iklan bagi produk rumah tangga, dan meminta Cak Nun menulis kolom rutin untuk meluaskan pasar.

Selain itu, saya juga melakukan analisis SWOT dengan menggunakan jasa Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Manajemen (PPM). Biayanya sekitar Rp30 juta, waktu itu terbilang cukup besar, sehingga Pak Ci menanyakan urgensinya tapi menyetujui. Dan SWOT yang melibatkan seluruh karyawan, sekitar 70 orang, membuat semua mengetahui kinerjanya dan posisi perusahaan secara benar, adil dan obyektif. Hal itu melahirkan etos kerja, kesamaan bahasa dan spirit untuk bersama-sama memajukan BI. Pak Ci bahkan meminta saya dan beberapa redaksi senior untuk ikut lokakarya Manajemen Keuangan untuk Eksekutif Bukan Keuangan Bidang Jasa yang diselenggarakan PPM, dengan biaya yang cukup besar.

Kurang dari setahun, oplah dan pemasukan iklan BI meningkat. Meski belum menguntungkan, grafiknya terus naik. Pak Ci meminta saya menyiapkan penerbitan baru. Saya ajukan proposal dan disain grafis tabloid anak yang oleh Pak Ci diberi nama Fantasi. Selain itu, saya juga mengusulkan agar Mas AA direkrut sebagai konsultan. Sebab, jika nantinya akan terus menerbitkan media baru, kehadiran Mas AA sangat diperlukan. Baik dalam hal ide, pengalaman maupun untuk mendapatkan kepercayaan dari agen dan pengecer media.

Pak Ci setuju. Maka, saya beberapa kali bolak-balik ke LP, sampai akhirnya Mas AA minta bertemu Pak Ci.  Dua bulan berlalu, pertemuan belum terwujud, karena kesibukan Pak Ci dan berbagai pertimbangan lain. Maka, saya menemui Beny Suherman yang menyatakan setuju bertemu Mas AA. Ketika Mas AA juga setuju, saya bersiap mengatur pertemuan. Suatu pagi, saya mengajak Yanto Bhokek, editor senior BI,  menjemput Pak Beny. Kami menemui Mas AA, di sebuah rumah di belakang LP Cipinang.

Saya dan Yanto meninggalkan Mas AA berdua Pak Beny, dan kurang dari setengah jam deal. Kami bersalaman. Saya merasa lega tapi juga was-was Pak Ci akan marah karena melangkahinya. Tapi, ketika saya melaporkan hal itu, Pak Ci justru menyalami. Sama sekali tidak marah. Pak Ci bahkan mengundang Mas AA yang saat itu sedang mengurus proses asilimasi bebas bersyarat. Kepada saya dan Mas AA, Pak Ci kembali menyampaikan visinya tentang media hiburan yang positif, yang oleh Mas AA kemudian dirumuskan menjadi Jurnalisme Kasih Sayang sebagai acuan BI.

Tahun 1994, ketika bebas bersyarat terpenuhi, Mas AA bergabung dan bisa ngantor setiap hari. Kantor BI yang semula di sebuah rumah di jalan buntu Petamburan, Tanah Abang, pindah di lantai delapan Gedung Subentra, jalan Gatot Subroto, milik Pak Beny. Kantor Petamburan oleh Mas AA difungsikan untuk menyiapkan tabloid Dangdut dan penerbitan buku. Sedangkan saya diminta fokus menyiapkan penerbitan tabloid Fantasi. Pada 1996, Pak Ci membangun kantor di jalan Simatupang untuk menyatukan kegiatan di Petamburan dan Gedung Subentra.

Kehadiran Mas AA membuat tiras BI melesat sampai 400.000 eksemplar. Sedangkan tabloid Fantasi kurang dari setahun sudah BEP dan pernah mencapai tiras 300.000. Tapi, Krisis moneter 1997 dan reformasi yang melengserkan Pak Harto, menjadi tsunami ekonomi di segala bidang bisnis, termasuk penerbitan pers. Tabloid Dangdut yang unik, terbit di saat yang tidak tepat dan gagal di pasaran sehingga terpaksa ditutup. Tiras BI dan Fantasi merosot, begitu pula pemasukan iklan juga turun drastis. 

Pak Ci yang belakangan sendirian jadi penyandang dana tidak menyerah. Pak Ci mengundang Herman Ramli, salah satu pemilk Bank Bali untuk bertemu redaksi. Tapi, kerja sama tidak terjadi. Pak Ci minta tabloid Dangdut diubah jadi tabloid wanita Aura. Untuk itu, Pak Ci mengundang disainer grafis terkemuka untuk merangcang tampilan Aura. Selain itu, Pak Ci juga merekrut jurnalis senior New York Times sebagai konsultan media. Pendeknya, segala daya upaya dikerahkan. Tapi, kondisi ekonomi membuat penerbitan pers semakin memburuk dengan terbitnya puluhan tabloid politik, mistik dan banyak lagi. Situasinya sungguh kacau.

Karena merasa gagal, pada 1999 saya mengundurkan diri. Begitu juga Mas AA dan sejumlah jurnalis juga mundur. Saya diminta Mas AA memimpin tabloid PROTV, tapi hanya bertahan kurang dari dua tahun. Sedangkan BI dan Fantasi berhasil mengatasi krisis dan bahkan berkembang menerbitkan Aura, Bintang Home, Teen dan lainnya.

Sebagai begawan properti, jejak Pak Ci di penerbitan pers membekas di MBM Tempo, Harian Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan terutama di Media Bintang Grup. Pak Ci tidak hanya sebagai penyandang dana, atau sekadar berbisnis, tapi juga terlibat langsung mengatasi krisis, mendorong dan memotivasi profesionalisme dengan memberikan gaji dan benefit yang layak serta membiayai pendidikan.

Sekitar tahun 2012, saya dan Mas AA diundang jadi peserta ceramah Pak Ci di Bintaro. Saat itu, Pak Ci menjadi motivator kalangan eksekutif muda, juga tentang aktivitas keagamaan dan spiritualitasnya. Usai ceramah, saya dan Mas AA menyalami. Saya senang karena Pak Ci masih mengenali dan menyebut nama saya. Itulah terakhir kali saya bertemu Pak Ci.

Ketika berdiri menunduk dan berdoa di sisi peti jenasah Pak Ci, saya menatap wajahnya yang tenang dan damai, tapi masih mencerminkan sosok petarung tangguh dan pantang menyerah. Saya selalu mengingat pesannya, "Anda harus berani berpikir positif."

Hemat saya, dengan berpikir positif, akan terlihat bahwa di dalam tantangan, rintangan bahkan bencana, selalu ada peluang, harapan, optimisme untuk mengatasi dan mengubahnya menjadi keberhasilan--dan seringkali bahkan melahirkan daya upaya yang kini lazim disebut sebagai out of the box. Untuk berpikir positif dibutuhkan keberanian spesial.

Terima kasih, Pak Ci.

Harry Tjahjono

Penulis : Harry Tjahjono
Editor: Harry Tjahjono
Berita Terkait