Linda Sudarsono: Memopulerkan Batik Lasem, Jogja, dan Cirebon

Wayan Diananto | 14 Juni 2015 | 08:04 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - TIADA kata terlambat untuk berwirausaha. Linda Sudarsono (44) memulai bisnis persis di usia 40 tahun. Pada November 2010 dengan motif iseng, dia merancang dress untuk sahabat sekaligus klien pertama, Vonny Lawantara.

Vonny kemudian memotret gaun itu dan menggunakannya sebagai display picture BlackBerry Messenger (BBM). Dari situ, kisah sukses dimulai.

Putri pasangan Siswani Sudarsono dan Benjamin Muliadi ini sebenarnya tidak terlalu mengerti batik dan kurang memahami teknik mendesain batik. Dengan tekad mencoba dan semangat jalani saja, Linda mendadani Vonny. Rupanya, Vonny mengaku puas.

Padahal, siasatnya klasik: mengkombinasikan dua motif dalam satu gaun. Kali pertama, ia mendesain blouse untuk Vonny. Kemudian babydoll, kemeja pria untuk ngantor, gaun cocktail, hingga menerima pesanan 100 seragam batik kantoran. 

Bagian tersulit dari bisnis ini membangun awareness masyarakat untuk menoleh ke lini busana Batique by Linda.

“Maka, saya melakukan pendekatan personal dan mendesainnya secara khusus. Itu yang membuat klien merasa baju yang saya buat itu sebagai a private collection. Tidak mungkin sama dengan baju orang lain. Modal awal, kecil banget,” Linda berkisah.

Awalnya, omzet Linda per bulan tidak lebih dari 5 juta. Hampir lima tahun berselang, omzet itu membengkak hingga lebih dari 150 juta per bulan.

Alumni Universitas Trisakti Jakarta itu sadar, bahwa dia bukan satu-satunya yang menjadikan kain batik sebagai aset dagang. Dari desainer papan atas sampai pedagang grosis Pasar Tanah Abang tahu bagaimana menjual batik. Langkah pertama yang dilakukan Linda, membuat batiknya lebih spesifik. Ia tidak menjual batik print. Titik.

“Maaf, tapi bagi saya batik print bukan batik yang saya maksud. Saya hanya mengolah tiga jenis batik: Lasem, Jogja, dan Cirebon. Kalau batik cap, saya masih mau karena batik jenis ini masih melalui proses rumit. Untuk menjangkau berbagai segmen, saya memadukan batik cap dan tulis agar harganya lebih miring. Komposisinya, batik tulis 80 persen selebihnya cap,” terangnya.

Berikutnya, menentukan karakter lini busana Batique. Rancangan Linda tidak girlie. Jadi kalau mencari busana batik yang girlie ke Batique, Anda salah alamat. Batique itu simpel, elegan, tak banyak ornamen. Linda berkeyakinan, motif batik yang bagus tanpa potongan yang aneh-aneh pun, auranya akan menyala kemudian menyatu bersama si pemakai. 

Itu sebabnya, seseorang bisa terlihat sangat cantik atau tampan ketika mengenakan busana batik yang tepat. “Ingat, batik tulis dibikin dengan tangan. Prosesnya panjang. Motifnya menyimpan cerita dan maksud. Kalau memahami itu, kita akan maklum bahwa batik ada harganya. Tapi rancangan saya tidak mahal. Kemeja batik (cap) mulai 350 ribu. Kalau batik tulis mulai 500 ribu. Untuk gaun batik tulis dengan rancangan lebih kompleks, bisa sampai 4 juta,” beri tahu Linda.

Uniknya, perempuan kelahiran 27 September ini tidak menjajakan koleksinya lewat Facebook atau Twitter. Lewat Instagram-pun sangat jarang. Jika berminat, pelanggan biasanya mengunjungi situs resminya atau menghubunginya lewat ponsel. Ini semata untuk menajamkan citra enggak pasaran.

“Di satu sisi, meski tidak mahal, pemakai batik saya bisa merasakan sensasi a private collection itu tadi. Beberapa bulan terakhir, saya mulai membawa rancangan saya ke Grand Indonesia, Mal Central Park, Mal Kemang Village Jakarta, dan ke Bali. Dalam sebulan pesanan bisa sampai 150 potong,” seru Linda seraya menambahkan, lini busananya menjadi besar berkat omongan dari mulut ke mulut. 

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait