Kisah Ammar Zoni Dua Tahun Belajar Santun dan Silat di Sumatera Barat

Wayan Diananto | 6 Maret 2014 | 20:21 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - AMMAR Zoni (20) yang kita kenal lewat peran antagonis Romy dalam sinetron Khanza 2 adalah finalis Top Guest majalah remaja Ibu Kota.

Di samping kisahnya di ruang audisi demi berburu peran, ada kisah yang tak kalah menarik ketika ia lulus SD.

Ibunya, Sri Mulyatini, meninggal dunia ketika Ammar baru kelas 6 SD. Sejak itu, Ammar cilik tumbuh menjadi anak yang bengal. Tidak sabar menghadapi polah putranya, sang ayah, Suhendri Zoni, mengirim Ammar ke Muara Labuh, Solok Selatan. Seperti apa kisahnya?

"Semenjak Ibu meninggal, saya menjadi bandel. Ayah jarang di rumah. Lelah menangani saya, akhirnya Ayah mengirim saya ke Padang. Tidak persis di Padang, karena instruksi berikutnya, saya mesti dirawat kakek dan nenek yang tinggal di Muara Labuh, Solok Selatan," kenang aktor kelahiran Depok 8 Juni 1990. Keputusan ini diambil Suhendri Zoni, setelah Ammar menjadi pribadi yang susah diatur. Bayangkan, penggemar Leonardo DiCaprio ini sejak lulus SD, pindah sekolah hingga 15 kali!

Belajar sopan santun dan silat
Mulai dari sekolah di Jakarta, Batam, Bandung, lalu berlabuh di Solok Selatan. Kali pertama menginjak Tanah Minang, Ammar terkaget-kaget. Tidak ada minimarket, layaknya mayoritas ibu kota provinsi. Yang ada, pasar tradisional yang hanya buka hari Senin dan Kamis. Kala itu, Ammar mulai berpikir mengapa ayahnya setega ini? Tapi justru di Solok Selatan, ia memetik banyak pelajaran.

"Saya belajar survive. Lebih dari itu saya belajar sopan santun. Usia kakek saya hampir 100 tahun. Ia masih sehat, menjabat semacam ketua adat di sana. Kalau berbicara dengan beliau, pantang bagi saya menatap langsung matanya. Saya mesti menunduk. Itu bagian dari kesantunan," terangnya.

Di Muara Labuh, Ammar berkenalan dengan silat luncua. Dalam bahasa setempat disebut silek luncua. Silat asli dari Muara Labuh. Ammar menekuni silat ini setahun lebih. Perlahan, penyuka warna hitam ini memberanikan diri bergabung dengan Perguruan Pencak Silat Garuda Putih (PSGP).

"Kesempatan emas datang. Mewakili PSGP, saya berlaga di sejumlah kompetisi. Salah satunya, Pekan Olahraga Daerah (Porda). Saya juara 2 untuk pencak silat kategori silat laga. Sebetulnya saya menekuni silat tradisional (silat tradisional dan silat laga berbeda). Kemenangan saya di Porda bikin saya sadar betapa silat mulai ditinggalkan generasi muda. Kala itu saya berpikir, nanti kalau pulang ke Jakarta, saya ingin mengajar pencak silat. Apesnya, setelah tiba di Jakarta saya malah 'tersesat' ke dunia model lalu jatuh cinta kepada lokasi syuting, hahaha!" celotehnya.

Muara Labuh tidak hanya mengajar Ammar soal sopan santun dan silat. Kawasan ini mengajak Ammar lebih jauh berdamai dengan alam. Kata Ammar, jangankan mal, listrik pun langka. Penerangan menggunakan lampu tungku atau obor. Saat Ammar datang ke sana, listrik dihasilkan dari generator turbin dengan memanfaatkan aliran sungai. Mengingat listrik kadang ada, kadang tidak, Ammar harus mengucap salam perpisahan dengan ponsel dan perangkat gadget modern lain.

"Jadi kalau mau menelepon orang tua atau orang tua kangen saya, saya harus pergi ke rumah paman yang lokasinya mendekati Ibu Kota. Di rumah paman saya ada telepon. Itu pengalaman luar biasa. Saya jadi menghargai tali silaturahim. Saya merasakan kasih Ayah begitu besar," akunya.

(wyn/ade)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait