The Life and Times of Nike Ardilla (1975-1995)

Binsar Hutapea | 19 Maret 2014 | 11:11 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - "THE best way to become immortal is to die when the eyes of the world are upon on you, as too many heroes have proved". (Cara yang terbaik supaya abadi adalah mati di saat semua mata di dunia tertuju pada Anda, seperti telah terbukti pada banyak pahlawan).

Begitu tulis Marlyn Manson di sebuah artikel bertajuk "The Death Rock Star". Artikel ini dimuat di majalah Rolling Stone edisi 15 April 2003.

Manson, yang identik dengan dandanan Gothic ini, rasanya tak berlebihan. Sejarah membuktikan bahwa legenda di dunia musik rata-rata meninggal saat tengah berada di puncak kariernya. Jimi Hendrix dikenang terus setelah meninggal lantaran overdosis pada 18 September 1970. Jimi tewas di usia yang bisa dibilang muda, 28 tahun. Kala itu ia tengah berada di puncak karier.

Selain Jimi, ada Kurt Cobain. Seperti Jimi, ia meninggal juga lantaran overdosis. Kurt, yang meninggal di usia 27 tahun, kala itu sedang ngetop-ngetop-nya dengan Nirvana. Bahkan ada pengamat musik yang menyatakan musik grunge-genre musik yang dimainkan Kurt bersama Nirvana-juga ikut mati setelah Kurt tiada. Selain Jimi dan Kurt masih banyak rock star yang jadi legenda lantaran meninggal di saat jaya. Ada John Lennon, Janis Joplin, Jim Morisson, Elvis Presley, Freddy Mercury atau Tupac Shakur.

Kematian pahlawan musik ini terus dikenang sampai sekarang. Oleh penggemar, cara mengenangnya dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya ziarah ke makam. Makam Elvis di Graceland Memphis, Amerika Serikat, ramai disambangi para peziarah setiap tanggal 16 Agustus. Elvis meninggal di tanggal itu. Makam Lachaise Cemetery di Paris, Prancis pun tiap tahunnya juga ramai dikunjungi orang. Makam itu tempat peristirahatan terakhir Jim Morrisson, vokalis The Doors.

Bagaimana di sini? Di negara ini, banyak musisi atau artis yang meninggal saat tengah berada di puncak. Namun-berbeda dengan negara lain-jangankan jadi legenda, dikenang pun paling-paling sesekali saja. Dari sekian banyak artis yang telah pergi, cuma kematian Nike Ardilla yang diperingati setiap tahunnya. Sekadar kilas balik, semasa hidupnya Nike dikenal sebagai penyanyi populer. Dari vokalnya banyak terlahir lagu-lagu hit, seperti "Seberkas Sinar", "Bintang Kehidupan" dan "Nyalakan Api".

Selain bernyanyi, Nike juga sering muncul di layar lebar. Nike meninggal pada 19 Maret 1995, dalam sebuah kecelakaan mobil di Jalan R.E. Martadinata, Bandung. Penyanyi berparas manis ini tewas seketika saat sedan Honda Genio warna biru metalik bernomor polisi D 27 AK yang dikendarainya menabrak pagar tembok sebuah bangunan.

Peringatan wafatnya cewek yang punya nama lengkap Raden Nike Ratnadilla rutin dilakukan tiap tahun. Penggemar Nike-lah yang tiap tahun berinisiatif menggelar acara ini. Bisa dibilang, tak ada penggemar seloyal fans-nya Nike. Bukan tak mungkin, bila fans-nya tak seloyal ini, nama Nike barangkali sudah terlupakan. Setiap tahunnya peringatan kematian Nike biasanya dikoordinir oleh Nike Ardilla Fans Club (NAFC). NAFC merupakan wadah resmi penggemar Nike.

Perjalanan hidup Nike Ardilla
Nike lahir di Bandung, 27 Desember 1975. Bakat menyanyi Nike mulai tumbuh sejak masih berumur 5 tahun. Darah seni Nike mengalir dari kakeknya. Kakeknya seorang penyanyi keroncong. Di umur 5 tahun, kata Alan yang mengurus museum Nike Ardilla, Nike sudah berani tampil menyanyi. "Dulu di rumah itu sering ada kumpul-kumpul. Nike sering bernyanyi di situ," sebut Alan lagi.

Tak puas berkarier di jalur musik, dara bertinggi/berat 168/50 ini terjun pula ke dunia akting. Ia pernah membintangi sinetron None, Warisan, Trauma Marissa. Di sinetron, Nike tak canggung berakting bersama El Manik, Rano Karno, dan Didi Petet. Nike memang laris di layar perak. Dalam tiga tahun ia juga tercatat membintangi sembilan film, Kasmaran (1987), Gadis Foto Model (1988), Si Kabayan saba Metropolitan/Kota (1989), Nakalnya Anak Muda (1990), Lupus IV (1990), Olga & Sepatu Roda (1991). Saat panggung musik rock dicekal akibat kerusuhan konser Metallica di Jakarta tahun 1993, Nike tak panik. Tawaran bermain sinetron, film, menjadi model iklan serta pemotretan berbagai media cetak datang sambung menyambung.

Meski populer dan mengantungi banyak uang, tak membuatnya ia lupa berbagi dengan orang lain. Tahun itu juga, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Wawasan Nusantara bagi anak anak cacat di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Di yayasan itu ia menjabat sebagai penyandang dana sekaligus Sekretaris Yayasan.

Langkahnya di dunia seni kian tak terbendung setelah merilis album Nyalakan Api. Album itu kembali meraih BASF Awards. Nike juga menyabet penghargaan sebagai pendatang baru terbaik pada Asia Song Festival di Shanghai (1991).

Bak kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup. Dia mulai diterpa banyak gosip. Ada kabar yang mengatakan Nike pencandu  alkohol, obat terlarang, dan lesbianisme. Menghadapi gosip itu, cewek yang sampai akhir hayatnya tak bisa mengabulkan cita-cita mendirikan madrasah dan menunaikan ibadah umrah ini, tetap tegar.

Menurut Alan, semasa hidup Nike tergolong tipe orang dewasa. "Padahal umurnya di bawah saya. Malah bisa dbilang dia itu lebih dewasa dari saya. Mungkin ini karena dia bergaul dengan banyak orang. Nike juga sering mengajarkan saya bersosialisasi. Baru setelah dia meninggal, saya menyadari ilmu yang diajarkan itu ternyata sangat berguna," papar Alan.

Di mata sang ibunda, Nike tergolong anak yang sangat manja. Maklumlah ia anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan. Saking manjanya, walau sudah cukup dewasa, Nike tidur bersama kedua orangtuanya. Nike juga tipikal gadis pemurah. Kepada siapapun ia sering memberi. "Apalagi pada orangtuanya," kenang Ningsih lagi.

Artikel ini sebagian besar dimuat di BINTANG INDONESIA, No.778, Th-XVI, Minggu Ketiga Maret 2006.

(bin/ade)

Penulis : Binsar Hutapea
Editor: Binsar Hutapea
Berita Terkait