Heni Sri Sundani, Mantan TKI yang Mendunia Berkat Gerakan Anak Petani Cerdas

Agestia Jatilarasati | 18 November 2017 | 08:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Heni Sri Sundani (30) terlahir sebagai anak buruh tani. Sejak SD ia hobi membaca. Di sela pekerjaannya sebagai pramusiwi di Hong Kong, ia berhasil menamatkan kuliah di jurusan Entrepreneurial Management Universitas Saint Mary Hong Kong.

Keprihatinannya terhadap dunia pendidikan membawa Heni untuk menggagas Gerakan Anak Petani Cerdas (GAPC) dan mendirikan komunitas Agroedu Jampang.  

Lahir di Ciamis, Jawa Barat, 2 Mei 1987, saat duduk di bangku SD Heni sering menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku di gudang tua bekas perpustakaan. Di sanalah ia berkeliling dunia. Cita-citanya untuk bersekolah tinggi membawanya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong pada 2011.  

Keputusan menjadi TKI dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi keluarga yang tidak memiliki biaya untuk menguliahkan Heni. “Aku teringat cerita guru bahasa Mandarin di SMK bahwa ia pernah menjadi TKI di Korea lalu kembali ke Indonesia untuk meneruskan kuliah. Aku merasa tidak menemui jalan lain untuk mencapai cita-citaku selain dengan jalan ini,” beri tahu Heni. Bekerja sebagai pramusiwi, Heni tetap berfokus pada pendidikan. 

 Lulus Diploma III jurusan Teknologi dan Informasi dengan nilai terbaik, Heni kembali kuliah jurusan Manajemen Kewirausahaan Universitas Saint Mary Hong Kong. Hebatnya, Heni lulus dengan predikat cum laude. Usai menggenggam gelar sarjana sains di bidang manajemen kewirausahaan, Heni pulang ke kampung halamannya di Rancatapen, Ciamis pada 2013.

Ia kaget melihat kondisi kampungnya tidak banyak berubah untuk urusan pendidikan. Heni tidak tinggal diam. Berbekal lebih dari 3 ribu buku yang dibeli di Hong Kong, ia mendirikan perpustakaan di rumahnya. Siapa sangka, kehadiran perpustakaan menumbuhkan minat baca warga sekitar. Semangat Heni untuk menjalankan perpustakaan semakin menggebu. Tidak selang berapa lama, ia menikah dengan Aditia Ginantaka (29) dan pindah ke Bogor tinggal bersama suami. 

Meski tidak lagi tinggal di kampung halamannya, perpustaan tetap berjalan. Di Bogor Heni kembali mendapati kenyataan yang membuatnya harus mengelus dada. Sebagian besar warga kampung di sekitar perumahan tempat tinggal Heni dan suami ternyata bermata pencaharian sebagai buruh tani, pengojek, buruh kasar, dan asisten rumah tangga. 

Yang lebih miris, warga sekitar kata Heni memanfaatkan selokan untuk MCK (mandi, cuci, kakus). Melihat kondisi tersebut ia berdiskusi dengan suami untuk mencari solusi membantu mereka.

“Dari situ terciptalah GAPC di mana kami mendidik dan memberi pendampingan belajar kepada anak petani miskin. Kami mengajarkan tiga aspek pelajaran dasar yakni kemampuan linguistik dan bahasa asing, kemampuan literasi, dan kemampuan logika,” jelas Heni.  

Selain itu, Heni membekali mereka dengan kemampuan komputer, pertanian, peternakan, perkebunan, dan bahasa daerah. Bermula dari mendidik 15 siswa di kampung Sasak, Desa Jampang, Bogor, kini GAPC tersebar di lebih dari 11 kampung dengan peserta 2 ribu anak. Mulai dari anak petani, anak asisten rumah tangga, anak TKI, anak pengojek, sampai pemulung. 

 

(ages / gur)

 

Penulis : Agestia Jatilarasati
Editor: Agestia Jatilarasati
Berita Terkait