Pandemi Covid-19, Simalakama Pemerintah dan Masyarakat

Tubagus Guritno | 25 Juli 2021 | 12:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia masih lebih dari 40 ribu per hari. Artinya, situasi ini masih belum terkendali. Berdasarkan data Satgas Covid-19 hingga Sabtu (24/7) kemarin, pukul 12.00 WIB, selama 24 jam terakhir tambahan kasus positif harian tercatat 45.416. Sehingga secara total kasus positif di Indonesia menjadi 3.127.826 kasus.

Dalam periode yang sama juga bertambah 1.415 orang yang terpapar Covid-19 meninggal. Dengan demikian, pasien Covid-19 meninggal dunia jadi 82.013 orang. Sementara yang sembuh bertambah 39.767 orang. Sehingga kasus aktif atau pasien positif Covid-19 yang masih menjalani perawatan di rumah sakit atau isolasi mandiri kini ada 574.135 orang.

Data di atas tentu hanya yang dicatat oleh pemerintah, sementara yang tidak tercatat bisa jadi masih banyak. Misalnya ada yang terbukti positif namun tidak lapor atau dilaporkan, bisa juga ada yang sebenarnya terpapar tapi tidak terdeteksi karena tidak melakukan test.

Bahkan pemeriksaan Swab PCR di Puskesmas memerlukan waktu yang lama untuk menunggu hasilnya. Ketika menunggu hasil, orang yang bersangkutan belum melaksanakan isolasi, baik di rumah sakit maupun secara mandiri. Jika ternyata hasilnya positif, dia sudah terlanjur menulari orang lain. 

Belakangan ada kecurigaan juga, pengumuman hasil test PCR yang lama, untuk mengatur data jumlah yang dirilis. Diatur sedemikian rupa agar kasus harian tidak terlalu besar, jadi yang sudah terbukti positif hari itu tidak langsung diumumlan, tapi ditunda untuk hari lain. Di Jawa Timur kecurigaan ini besar, karena hasil PCR Puskesmas baru diumumkan paling sepekan bahkan hingga sepuluh hari setelah dilakukan test. Sehingga semua data yang dirilis pemerintah validitasnya tentu masih bisa dipertanyakan.

Ditambah lagi dengan kesadaran masyarakat akan 3T atau tindakan melakukan tes COVID-19 (Testing), penelusuran kontak erat (Tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien COVID-19 (Treatment) masih sangat rendah. Dengan berbagai alasan tentunya, misalnya kalau harus melakukan tes dengan hasil yang cepat perlu mengeluarkan biaya dan sebagainya.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran virus dan mengentikan pandemi Covid-19?

Pemerintah--walaupun banyak yang menilai ceroboh, terlambat, tidak tegas, dan lain sebagainya, bahkan dimanfaatkan oleh pihak oposisi dan semua yang anti pemerintah, baik yang merasakan dampak atau tidak dari pandemi ini--diakui atau tidak, sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah ini. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, Darurat, hingga Level 4.  Sementara itu, vaksinasi juga mulai gencar dilakukan.

Tujuan besar semua program itu tentu saja untuk menghentikan laju penyebaran virus dan mengentikan pandemi Covid-19 erta menangani dampak yang sudah terlanjur terjadi. Mulai dari pengobatan yang tertapar hingga yang terdampak secara ekonomi. Dana ratusan triliun rupiah sudah digelontorkan dan masih terus dianggarkan.

Namun, hasilnya, seperti kita lihat bersama, belum menunjukkan hasil yang manksimal. Malah situasi menjadi semakin parah. Semua sektor terganggu, bahkan banyak yang lumpuh. Situasi yang sama terjadi di banyak negara lain.

Lalu kenapa banyak negara lain berhasil meredam Covid-19 dan memperbaiki "kerusakan" yang terjadi? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Di Indonesia yang terjadi malah saling tuduh, saling menyalahkan, mencari pembenaran satu sama lain, dengan segala teori ilmiah, akademis, hingga mistis.

Masyarakat bilang, pemerintah salah, tidak becus menangani pandemi, membunuh perekonomian rakyat, bisanya hanya melarang dan menyalahkan tapi tidak memberi solusi. Berujung pada gerakan politik dan hal-hal lain yang sebetulnya bukan solusi.

Sementara pemerintah juga sebaliknya, menuding masyarakat tidak bisa diatur, tidak taat protokol kesehatan, tidak peduli dengan pandemi, tidak sabar, tidak mau memahami kerja dan usaha pemerintah mengatasi pandemi.

Alhasil kedua belah pihak menjadi serba salah. Ya, diulangi, semuanya menjadi serba salah dan tetap saling menyalahkan.

Dari sisi masyarat misalnya, kalau mematuhi PPKM perekonomian terganggu. Sementara kalau tidak mematuhi PPKM ancaman Covid-19 semakin dekat. Kasarnya, diam di rumah lama-lama mati kelaparan, di luar rumah juga bisa mati akibat terpapar virus, bahkan menyebabkan orang lain ikut terpapar dan ikut mati.

Sementara dari sisi pemerintah, menerapkan PPKM dan melarang masyarakat untuk beraktivitas harus menjamin kelangsungan hidup warganya, sementara cadangan dana jauh dari cukup untuk memberi makan masyarakat, belum lagi harus mengobati yang sakit.

Mengutip peribahasa bagai makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Melakukan sesuatu salah tidak dilakukan salah. Dua pekerjaan yang sama-sama berbahaya.

Alhasil, semua hanya bisa pasrah, sambil tetap terus berusaha, dan berdoa. Tidak heran semua ahli agama juga kebaagian repot memikirkan pandemi Covid-19 dan memberi edukasi kepada umatnya. Walaupun banyak juga ahli agama dan sejumlah pihak yang tidak mau ambil pusing bahkan menganggap Covid-19 mengada-ada, kosnpirasi lah, atau akal-akalan agar situasi menjadi resah. Mereka juga menganggap vaksinasi Covid-19 tidak perlu bahkan berbahaya.

Jadi, semua terserah pribadi masing-masing. 

 

***

 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi tabloidbintang.com.

Tulisan ini murni opini pribadi dan menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada keberatan atau ada yang perlu didiskusikan silakan menghubungi email: guritno@tabloidbintang.com atau melalui Instagram @tubagusguritno

 

Penulis : Tubagus Guritno
Editor: Tubagus Guritno
Berita Terkait