Hari Radio Nasional dan Lahirnya RRI, Perjalanan Radio Dari Awal Kemerdekaan Hingga Era Digital

Mela Putri (Anggota Perempuan Indonesia Satu) | 12 September 2021 | 01:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Setiap tahunnya, tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional sekaligus Hari Lahir Radio Republik Indonesia (RRI). Lalu, seperti apa perjalanan radio dari masa ke masa?

Tak dimungkiri, tren pendengar radio semakin menurun yang dipicu dari meluasnya teknologi digital. Kini, beragam platform hiburan digital dapat dengan mudah diakses melalui gawai telepon pintar. Radio mulai kehilangan pamornya.

Sebenarnya stasiun radio mulai beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi. Beberapa mengembangkan aplikasi yang bisa dipasang di smartphone serta memperluas layanan dengan masuk ke Podcast atau sejenisnya.

Namun tetap saja, pendengar murni siaran radio jumlahnya memang mulai melandai dalam satu dekade belakangan ini.

Menurut survei indikator sosial budaya Badan Pusat Statistik (BSI), masyarakat berusia 10 tahun ke atas yang mendengarkan radio dalam seminggu terakhir hanya 13,31% pada 2018. Angka ini turun secara tajam dari 50,29% pada 2003.

Pada 2020, tren tersebut kembali meningkat akibat pandemi Covid-19. Survei lain menyebutkan bahwa jumlah pendengar pada 2020 mengalami peningkatan sebanyak 31% dari 2019. 

Peningkatan tersebut memang belum sebanding dengan pamor radio pada zaman dulu. Bahkan ketika awal kemerdekaan, radio merupakan primadona jalur komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Radio di awal kemerdekaan

Seperti telah disinggung sebelumnya, tanggal 11 September merupakan titik tolak saat Indonesia akhirnya memiliki stasiun radio sendiri. Semua berawal pada tanggal 19 Agustus 1945, ketika bangsa ini baru berusia hitungan hari saja.

Kekalahan Jepang mengakibatkan siaran radio Hoso Kyoku dihentikan mulai hari itu. Tentu saja hal ini merupakan kabar buruk bagi rakyat Indonesia karena artinya, masyarakat tidak lagi memiliki sumber informasi yang justru sangat dibutuhkan pada masa genting tersebut.

Masyarakat Indonesia yang baru merdeka buta akan beragam informasi. Padahal, dalam kondisi krisis itu, muncul kabar lewat radio bahwa Inggris akan datang untuk melucuti Jepang.

Dengan alasan “menjaga keamanan”, Inggris akan menduduki Jawa dan Sumatera sampai Belanda mampu mencengkram kekuasaannya kembali di Indonesia yang masih sangat rapuh.

Dari berita-berita itu juga diketahui, sekutu masih mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan kerajaan Belanda dikabarkan akan mendirikan pemerintahan benama Netherlands Indie Civil Administration (NICA).

Hal itu membuat orang-orang yang aktif di radio pada masa penjajahan Jepang sadar bahwa radio amat diperlukan sebagai corong informasi dan komunikasi pemerintah Republik Indonesia dan rakyat.

Menyadari pentingnya keberadaan radio, delapan orang perwakilan eks stasiun radio Hoso Kyoku pun mengadakan pertemuan darurat pada tanggal 11 September 1945 pukul 17.00 di gedung Raad Van Indje Pejambon.

Mereka adalah Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi. Tujuan pertemuan ini ialah untuk membahas berbagai hal terkait pendirian radio.

Salah satunya, mereka mengimbau kepada pemerintah untuk mendirikan radio yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. 

Pasalnya, ketika itu radio merupakan pilihan paling cocok sebagai media komunikasi karena tidak mudah terputus saat pertempuran dan dikelola komunitas yang lebih cepat.

Untuk modal operasional, delapan delegasi radio tersebut menyarankan agar pemerintah menuntut Jepang supaya bisa menggunakan studio dan pemancar-pemancar radio Hoso Kyoku.

Menanggapi hal tersebut, sekretaris negara dan para menteri sebenarnya keberatan karena alat-alat di stasiun radio sudah terdaftar sebagai barang inventaris sekutu. 

Meski demikian, para delegasi tetap meneruskan rencana mereka dengan memperhitungkan risiko peperangan. Di akhir pertemuan, Abdulrachman Saleh selaku ketua delegasi membuat tiga simpulan.

Pertama, pembentukan Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa. Kedua, mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat.

Lalu terakhir, mereka mengimbau supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh. Tiga simpulan tersebut pun akhirnya disanggupi pemerintah RI dan siap membantu RRI, meskipun pihak pemerintah tidak sependapat dalam beberapa hal.

Setelah mengadakan rapat di gedung Raad Van Indje Pejambon, delapan perwakilan stasiun radio di Jawa mengadakan pertemuan di rumah Adang Kadarusman, masih di tanggal sama 11 September 1945 pukul 24.00.

Adapun perwakilan rakyat ikut dalam pertemuan tersebut adalah Soemarmad dan Soedomomarto dari Yogyakarta, Soetaryo dari Purwokerto, Maladi dan Soetardi Hardjolukito dari Surakarta, Soehardi dan Harto dari Semarang, serta Darya, Sakti Alamsyah, dan Agus Marahsutan dari Bandung.

Namun, perwakilan daerah Surabaya dan Malang kala itu tidak dapat ikut dalam rapat. Keputusan dari rapat tersebut adalah mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpin. Jadilah nama Abdulrachman Saleh tercatat sebagai ketua RRI pertama. 
 

Penulis : Mela Putri (Anggota Perempuan Indonesia Satu)
Editor: Mela Putri (Anggota Perempuan Indonesia Satu)
Berita Terkait