25 Tahun Tabloid "Bintang Indonesia", Tetap Berkilau di Era Digital

Suyanto Soemohardjo | 12 Maret 2016 | 06:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Akhir tahun 80-an Tabloid Monitor yang dipimpin Arswendo Atmowiloto menjadi fenomena dalam industri media cetak.

Tabloid terbitan grup Kompas-Gramedia yang semula banyak dicibir itu, mencetak angka penjualan fantastis. Kalau digabung dengan Monitor Minggu dan Monitor Anak yang terbit kemudian, oplahnya tembus angka 1 juta eksemplar.

Saat syukuran ulang tahun pertama, Jakob Oetama, pendiri Grup Kompas, menyebut kesuksesan Monitor sebagai instan. Begitu terbit langsung sukses.

Di awal terbit Monitor di akhir 80-an, TVRI punya beberapa acara populer. Salah satunya opera sabun dari Australia, Return to Eden. Dan, Monitor menjadi satu-satunya media cetak yang membahasnya. Hanya dengan menulis sinopsis yang akan tayang minggu itu, Monitor sudah ditunggu banyak pembacanya. 

Sayangnya, seperti sejarah kemudian mencatat, Monitor tidak berumur panjang. Survei pembaca yang dilakukan tabloid ini berujung pada demo besar-besaran, dan akhirnya Monitor dibredel pada akhir 1990. Tabloid yang sering dikritik vulgar tapi juga acap dipuji menawarkan jurnalisme gaya baru itu pun harus mengakhiri perjalanannya.

Cerita sukses Monitor, dan pasar besar yang ditinggalkan, ini secara tidak langsung yang menjadi momentum kelahiran Tabloid Bintang Indonesia.

Sebelumnya Bintang sudah terbit dengan manajemen berbeda. Dulu, di zaman Orde Baru, mengurus SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) bukan perkara gampang. Ketimbang mengurus izin baru yang makan waktu lama, banyak penerbit yang memilih bekerjasama atau mengakuisisi penerbitan yang sudah ada.

Beberapa wartawan baru eks Monitor yang membidani kelahiran Bintang, yang mulai beredar awal Maret 1991. Dengan konsep meniru persis, Bintang mencoba mengambil pasar yang ditinggalkan Monitor.

Apakah dengan jurus itu Bintang serta merta bisa menyamai oplah Monitor? Jawabannya, tidak. Bisa dikatakan, kehadiran Bintang yang berambisi menggantikan Monitor, disambut dingin oleh publik. Angka penjualan jauh dari harapan.

Masalah bisnis yang tak semulus bayangan, pada akhirnya berpengaruh pada suasana kerja redaksi. Konflik antarpersonel mulai terjadi. Tim redaksi yang semuanya masih berusia muda dan belum berpengalaman, tak adanya visi yang dirumuskan dan dipahampi seluruh anggota tim, sering jadi pemicu perdebatan. Bujang Pratikto, pemimpin redaksinya, keluar saat Bintang baru berusia beberapa bulan.

Bintang yang terbit dengan konsep sama persis, setidaknya begitu semangatnya, ternyata tak berhasil mengambil pasar yang ditinggalkan Monitor.

Mungkin saja ketika itu kami hanya tahu luarnya, tidak benar-benar faham filosofi di baliknya. Mungkin juga terjadi pergeseran cepat antara masa sebelum dan setelah Monitor dibredel.

Setelah dua tahun tak mencapai target, tahun 1993 (atau 1994) Arswendo Atmowiloto diminta bergabung menjadi konsultan oleh manajemen Bintang. Sebelumnya, Harry Tjahjono, wartawan senior yang juga pengarang populer, lebih dulu bergabung.

Alih-alih meneruskan jurus lama, memasang foto lher (baca: seksi) dan judul yang bisa diasosiasikan dengan hal-hal berbau mesum, Arswendo menawarkan pendekatan yang sama sekali berbeda. Tampilan cover Bintang pun berubah total. Artis melahirkan, menikah, pacaran, dan hal-hal membahagiakan lain dalam kehidupan artis, itu yang ditampilkan di kover.

Pendekatan baru ini ternyata mujarab. Oplah Bintang bergerak naik. Pada perkembangan selanjutnya, Mas Wendo, begitu kami menyapanya, memperkenalkan istilah baru sebagai gimmick. Yaitu Jurnalisme Kasih Sayang. Dengan tagline ini Bintang sekaligus menegaskan identitasnya sebagai tabloid yang punya semangat berbeda.

Meski tidak dirumuskan dalam satu konsep, Jurnalisme Kasih Sayang kami pahami sebagai sikap ketika menuliskan berita. Selain berpegang pada teori jurnalisme baku dan dipakai semua media, Bintang tidak ingin menghakimi dan cenderung memilih menggunakan kata-kata yang lebih fair pada semua narasumber.

Dua Kali Eksodus, Tetap Survive

Tahun 90-an bisa dibilang sebagai era kejayaan media cetak. Bisnis media cetak berkembang pesat, banyak media bertiras tinggi dengan pemasukan besar dari pengiklan. Tahun-tahun itu banyak pengusaha tertarik terjun ke bisnis media cetak.

Tahun 1999, Mas Wendo dan beberapa kawan memilih keluar dari Bintang untuk mengelola penerbitan di bawah naungan grup lain.

Enam bulan setelah Mas Wendo keluar, kembali terjadi eksodus besar-besaran di Bintang. Erwin Arnada, pemimpin redaksi ketika itu, hengkang dan menerbitkan Tabloid Bintang Milenia.

Ini masa-masa sulit bagi Bintang. Selain karena baru ditinggalkan banyak anggota timnya, saat itu krisis moneter sedang melanda negeri ini.

Bisakah Bintang survive setelah terjadi dua kali eksodus dalam satu tahun? Pertanyaan ini menggelayut di benak manajemen. Meski kualitas produk mengalami penurunan, nyatanya Bintang tetap bisa bertahan. Tim yang tersisa, perlahan mencoba bangkit dan membenahi Bintang. 

Tahun 90-an infotainment belum sebanyak sekarang, dan media online belum jadi pilihan banyak pembaca. Bintang yang sejak awal memberi perhatian pada acara-acara TV, beberapa kali mendapatkan manfaat dari kesuksesan satu acara TV.

Oplah Bintang melejit setiap kali ada acara TV yang sukses besar; entah itu telenovela (Wild Rose, Maria Mercedes, Kassandra, Cinta Paulina, dll), serial Mandarin ( The Return of the Condor Heroes, Putri Huan Zhu, Meteor Garden, dll), Korea (Boys Before Flowers, dll), juga acara-cara produk lokal seperti sinetron, dan banyak lagi.

Lalu, datanglah era digital. Lanskap bisnis media cetak berubah drastis dan selamanya. Era dotcom mengguncang kemapanan bisnis media cetak di seluruh dunia. Media online yang bisa diakses dengan gratis, pertumbuhan pengguna internet setelah datang era smartphone, terjadilah migrasi besar-besaran pembaca media cetak ke online.

Bintang, seperti media cetak mana pun dunia, dipaksa menyesuaikan diri dengan perubahan. Meski agak terlambat, tahun 2010 Bintang mulai serius menggarap media online, www.tabloidbintang.com.

Sebetulnya, akhir tahun 2000-an saat terjadi gelombang web pertama di Indonesia, kami sudah mulai, tapi ketika itu masih ada keraguan soal masa depan media daring. Tapi sekarang, media digital, online, menjadi pilihan yang tersedia untuk survive. Mengikuti saran pakar, terjun ke media online sebagai strategi inovasi, bukan exit strategy. Menutup versi cetak dan hanya terbit versi online, terbukti tak menyelesaikan masalah.

Kami memilih tetap mempertahankan versi cetak dan pada saat bersamaan menggarap serius media online, sambil terus mencari model bisnis yang lebih relevan bagi perusahaan media seperti Media Bintang Indonesia ini.

Akankah  Bintang akan tetap survive di era digital?

Kami percaya, sampai kapan pun informasi tetap dibutuhkan, hanya medium dan cara publik mengkases informasi yang berubah, dan kami terus bergegas menyesuaikan diri.

Sebagai bagian dari strategi untuk tetap eksis, kini grup Bintang bermitra dengan grup penerbit majalah Tempo. Dengan beberapa langkah strategis ini, kami optimis Bintang akan tetap berkilau di era digital.

 

(Suyanto Soemohardjo, pemimpin redaksi Tabloid Bintang Indonesia periode 1999-2011, kini pemimpin redaksi tablodbintang.com)

 

Penulis : Suyanto Soemohardjo
Editor: Suyanto Soemohardjo
Berita Terkait