"Jangan Sok Cantik, Kamu Itu Cowok!"

Wayan Diananto | 12 Mei 2016 | 18:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - "Bro, bro, masa reporter ini tidak tahu nama bokap gue siapa? Hahaha!" seru laki-laki yang pernah memacari bintang film terkenal itu kepada teman-temannya, sambil menunjuk-nunjuk muka saya. Peristiwa itu terjadi di sebuah ballroom hotel berbintang di luar Jakarta. Diperlakukan seperti itu, saya hanya tersenyum. Tak terbayang seandainya ada kaca dihadapkan ke muka saya, tentu warna muka saya merah menahan malu yang teramat dalam.

Sok Terkenal
Laki-laki itu yang menjadi narasumber saya ini lumayan tampan. Ayahnya ternyata seorang seniman senior. Terkenal di eranya. Tapi, anak muda zaman sekarang yang mengidolakan Aliando, Prilly Latuconsina, dan Raisa mungkin butuh waktu beberapa jam ketika ditanya, "Kamu kenal seniman senior bapaknya anu, tidak?" Saya pun saat itu tidak tahu bahwa laki-laki yang saya wawancara itu (sebut saja Mas Ganteng), ternyata anaknya seniman senior.
Saya salah. Mewawancara tapi tidak meriset siapa yang akan diwawancara. Di sisi lain, saya berpikir, Mas Ganteng ini belum menghasilkan karya yang bikin mayoritas masyarakat Indonesia menoleh padanya. Dia bukan pemain sinetron. Bukan pula bintang film. Ketika mencari namanya di mesin Wikipedia, saya tidak menemukan profilnya sama sekali. Jadi, kalau saya kurang mengenal Mas Ganteng dan kurang tahu siapa ayahnya, rasanya kok bukan salah saya 100 persen.
Mungkin, karena Mas Ganteng beberapa kali dikabarkan memacari bintang film kondang, ia merasa dirinya sudah terkenal. Padahal, hukum di dunia hiburan seseorang biasanya dikenal berkat karya bukan karena kabar kedekatan dengan artis A. Berkat prestasi, bukan sensasi.
Yang terkenal karena sensasi, biasanya selebriti kelas "gitu deh". Artis kelas A mah, enggak usah digosipin juga sudah terkenal karena sinetronnya berating tinggi atau filmnya ditonton jutaan penonton atau lagunya menjadi hit. Sementara Mas Ganteng ini merasa semua orang mengenalnya.
    
Sok Cantik
Beberapa bulan setelah peristiwa yang bikin malu setengah mati itu, saya menghadiri karpet merah sebuah film Indonesia di Epicentrum XXI, Jakarta. Saya menukarkan undangan dengan tiket lalu masuk ke studio 1. Banyak artis papan atas hadir. Pejabat-pejabat penting pun hadir. Di antara tamu hadirin, saya melihat sahabat saya yang kini menjadi penata rias terkenal.
Melihat sahabat melintas di studio 1, saya berteriak, "Cantiiiik!" Dia menoleh, melambaikan tangan, lalu menjawab, "Hai!" Saat itu, sejumlah undangan melihatnya sambil mengernyitkan dahi. Menyadari dirinya menjadi pusat perhatian, ia langsung menjaga sikap sambil mendekati saya.
"An***g lo, Way. Orang-orang jadi ngelihatin gue nih gara-gara lo memanggil gue 'cantik'," bisiknya sambil setengah mencubit lengan saya.
"Lah? Gue bilang 'cantik', kenapa lo yang menoleh? Lo itu kan cowok kok merasa cantik?" kelit saya sambil menertawakannya.
Dan yang namanya karma itu betulan ada. Beberapa hari setelah peristiwa itu saya jalan-jalan manja di sebuah pusat perbelanjaan kelas atas di Senayan, Jakarta. Malnya yang kelas atas. Kalau saya mah, kelas menengah yang merasa kelas atas. Ketika berjalan menuju food court, tiba-tiba saya mendengar dari arah belakang ada yang berseru, "Cooong!"

Merasa dipanggil, saya menoleh ke belakang. Saya celingak-celinguk mencari orang yang tadi beteriak "Cong!". Ternyata tidak ada. Saat itulah beberapa pengunjung mal memandang saya sambil memicingkan mata. Ekspresi muka mereka seolah mengatakan, "Ini mas-mas brewok dan berkumis. Tapi giliran ada yang teriak 'Cong' kok langsung menoleh?" Menyadari saya jadi pusat perhatian orang banyak, saya langsung menunduk dan beringsut masuk ke gerai restoran cepat saji.
    
Sok Punya Banyak Kenalan
Saya kemudian menceritakan aib besar ini kepada seorang sahabat yang bekerja di tabloid sebelah. Mendengar cerita ini, bukannya menyemangati, si teman malah mendamprat saya. "Begini ya, mbak..." ucapnya setelah mendengar keluh kesah saya.
"Jangan panggil saya Mbak! Saya ini punya jakun!" sela saya dengan nada meninggi.
"Oke, fine! Begini ya, Mas. Namamu itu Wayan. Nama belakangmu juga tidak mengandung suku kata 'cong' sama sekali. Jadi, kenapa kamu merasa terpanggil saat ada orang yang tidak kamu kenal (di mal) berteriak 'cong'? Jangan sok terkenal dan sok punya banyak kenalan di mal, deh!"
"Heh, dengar! Gue enggak merasa dipanggil 'cong', ya. Tapi siapa tahu, orang itu berteriak 'cong' karena melihat pocong," saya berkelit lagi, Tidak mau disalahkan, lebih tepatnya.
"Jangan gila, deh. Lagian mana ada pocong jalan-jalan ke mal jam tiga sore? Mau ngapain, coba? Mau belanja tas Christian Dior? Mau beli sepatu cap Christian Louboutin? Mau makan nasi padang yang seporsi harganya Rp 86 ribu? Yang namanya pocong nongkrong ke diskotik atau mal itu cuma ada di film Indonesia. Kamu mau ngeles apalagi?" ujarnya gemas.
Saya terpojok. Suasana kemudian menjadi hening. Dalam keheningan itu saya teringat status Twitter Mbak Najwa Shihab. Saya lupa kapan persisnya ia menulis status itu. Yang jelas saya ingat, Mbak Najwa menulis begini, "Istimewa itu menjadi. Bukan merasa."

Seketika itu pula pipi saya serasa ditabok. Berkaca dari rentetan pengalaman di atas, saya mengambil kesimpulan begini: Alangkah baiknya, kalau seseorang itu menjadi terkenal. Bukannya merasa terkenal. Alangkah baiknya jika seseorang mempercantik diri, bukan merasa cantik.
Dari pengalaman saya jalan-jalan di mal, bukan berarti saya mau bilang: alangkah baiknya jika seseorang itu "cong", bukan merasa "cong". Yang ingin saya katakan adalah alangkah baiknya seseorang itu supel. Bukan merasa punya banyak kenalan sampai-sampai orang tak dikenal berseru "cong" pun, kita merasa dipanggil. Alangkah baiknya kalau seseorang itu cerdas. Bukannya merasa cerdas (padahal otak pas-pasan, sementara di luar sana masih banyak orang yang lebih cerdas).  
Sifat merasa atau "sok" pada akhirnya membuat saya menjadi pribadi yang gegabah, tidak mawas diri, dan kurang tahu diri. "Sok" membuat saya merasa sudah mencapai banyak hal. "Sok" itu membuat saya menjadi pribadi yang merasa tinggi. Banyak omong, padahal kosong. Bermulut besar, padahal pencapaian kecil. "Tumber nyadar!" timpal teman saya dengan nada sinis.

WAYAN DIANANTO

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait