Dulu Ketika Tuhan Bagi-bagi Muka Ganteng, Saya Lagi Kemana, Ya?

Wayan Diananto | 2 November 2016 | 17:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - “Hai, kamu apa kabar? Sudah lama tidak berkabar,” tanya seseorang yang dulu pernah mencintai saya namun akhirnya menikah dengan orang lain.

Setelah basa-basi, ia mengirim foto laki-laki tampan lewat aplikasi BlackBerry Messenger dengan keterangan, “Ini lo, cowok ganteng yang jadi pacar presenter berita tampan di stasiun televisi anu. Saya hanya tersenyum kecut lalu membalas, “Wajarlah, presenter tampan dapat cowok ganteng.”

Simpanan Aktor X

Setelah itu, perasaan saya tak menentu. Bukan. Bukan karena saya sedang terjebak nostalgia dengan orang yang meninggalkan saya untuk menikah dengan orang lain. Ujug-ujug saya teringat momen ketika meliput malam puncak Panasonic Gobel Awards ke-19 di Djakarta Theatre XXI, bulan lalu. Ketika sedang wawancara Stefan William di karpet merah, seorang teman dari Bandung sebut saja Budi mengabari: Bro, gue udah di Djakarta Theatre. Ini di kedai kopi.     

Seketika itu pula saya tergopoh-gopoh turun ke lantai dasar dan menjamu Budi. Ia tidak sendiri. Budi bersama (sebut saja) Iwan. Setelah saya merampungkan liputan dan mengantar Iwan pulang, Budi bercerita, “Iwan itu simpanannya aktor X. Pernah tinggal serumah sekian tahun. Dia sekarang punya pekerjaan juga atas koneksi X.” Lagi-lagi, saya menggeleng kepala.

Bagi saya, ini bukan hal yang mengherankan. Iwan ganteng. Aktor X meski sudah berumur, masih ada sisa-sisa gantengnya. Lagipula siapa sih yang enggak mau disimpan artis? Apa kemudian posisi Budi menjadi lebih mulia dari Iwan? Tidak juga. Budi tidak lulus SMA.

Ia disimpan seorang bule yang usianya hampir senja. Jika usia manusia diibaratkan waktu dalam sehari, umur bule yang memelihara Budi ini sama dengan jam 16 sore. Setiap bulan, ia dapat jatah sekian dollar AS. Jika dirupiahkan, cukup untuk membuat saya kurang bangga dengan gaji saya sendiri. “Tadi Papaku habis kirim uang, Bro. Makanya gue bisa perawatan muka,” ujar Budi sembari nyeruput kopi. Hari itu membuat saya sebal.

Enak menjadi Budi. Tak perlu kuliah. Cukup dengan modal muka gantengan dikit, uang datang sendiri. Asyik juga menjadi Iwan. Berbekal muka sedikit manis, sapat pekerjaan gara-gara disimpan artis. Saya? “Lagian ik heran sama jij. Dulu ketika Tuhan bagi-bagi muka ganteng, jij lagi kemana, sih? Jij sok sibuk, deh!” sindir teman saya menanggapi curhatan saya.

Kenapa Tidak Ada Yang Mau Menyimpan Saya?

“Gini ya! Gue sekarang tahu kenapa orang suka komplain hidup itu enggak adil. Lo denger baik-baik. Gue mesti lulus S1 untuk mendapat pekerjaan. Dan ternyata S1 saja enggak cukup! Gue mesti merantau ke Jakarta dengan konsekuensi pisah dari orang tua dan lo tahu gue hanya bisa lihat muka mereka tiga kali dalam setahun!”

And then?

“Dan sekarang, sudah lima bulan gue enggak lihat mereka. Sementara Budi tinggal di Bandung. Ongkang-ongkang kaki di rumah dan duit datang sendiri lewat Western Union. Iwan? Heiiiii jangan sedih diana (dia-red) asli Jakarta. Kalau butuh duta (duit-red) tinggal ke rumah si artis yang menyimpannya di Cibubur. Di mana keadilan hidup?”

Mendengar ocehan saya, si teman terdiam. Mulut setengah menganga. Mata terbelalak. Ia kemudian berkata lirih, “Wayan. Kamu sehat?” Situasi kemudian menjadi hening. Dada saya terasa panas sekali. Teman saya tampak masih berusaha mencerna ocehan saya. Beberapa menit berlalu tanpa kata. Yang terdengar hanya suara kopi yang dihisap dari sedotan.

“Oke, pembicaraan ini menjadi serius. Kita tinggalkan dulu kamus bebancian 'eike' dan 'yey'. Apa poin dari keluhanmu barusan, Way? Kamu mau mengeluh kenapa tidak punya wajah ganteng atau mengeluh kenapa tidak ada yang mau menyimpan kamu?” tanya si teman kemudian.     

Saya terpaku. Lalu mengalihkan perhatian ke arah barista yang menerima komplain dari seorang konsumen perempuan karena terlalu banyak es di dalam gelas plastiknya. “Kemarin (sebut saja) Boni kirim foto sedang berada di dealer mobil yang selama ini jadi impian gue,” jawab saya.

“Alhamdulillah, dong. Akhirnya kerja kerasnya membuahkan hasil.”

Sahabatku Simpanan Pak Bos

“Kerja keras gimana maksud, lo? Kerja keras dengan menjadi simpanan bos? Selama ini apartemen di jantung kota Solo yang ditempati Boni itu dapat darimana? Dari gaji sebagai asisten pribadi bos? Berapa gaji asisten lulusan SMA menurut, lo? Terus kemarin istri bos Boni mulai curiga kenapa Boni yang menempati apartemen itu. Itu yang lo maksud kerja keras?”

“Wayan, kalau inti dari keluhan lo adalah kenapa tidak ada yang menyimpan lo atau kenapa muka lo pas-pasan gue cuma mau bilang: gue bener-bener malu punya temen dengan pola pikir kayak lo. Gue bisa mentolerir kegaptekan lo. Gue bisa maklum lo enggak ngerti bola. Tapi sirik dengan orang yang tidak pantas disirikin itu kebodohan level dewa. And I can't tolerate that.” Lagi-lagi suasana menjadi hening.

“Oke, obrolan mulai enggak asik. Kayaknya home sick lima bulan enggak bisa mudik bikin standar kewarasan dan logika berpikir lo menurun drastis. Gue pulang dulu. Lo balik ke kos. Tidur. Jangan mikir macem-macem apalagi pakai mampir ke kuburan Casablanca. Faham, Wayan?”

Beberapa hari setelah pertengkaran itu, saya meliput peluncuran kartu kredit di Hard Rock Cafe, Jakarta. Bintang tamunya Marcel Chandrawinata. Dalam sesi diskusi, ia menceritakan usaha sampingan di luar dunia seni yang ia geluti. Cerita ditutup dengan pernyataan yang menampar saya.  “Alasan saya bekerja keras saat ini, salah satunya karena ingin pensiun lebih cepat. Ingin menikmati masa menuai lebih cepat dan lama. Itu sebabnya, mumpung masih muda dan sehat, lebih baik bekerja sekeras-kerasnya,” ujarnya disambut tepuk tangan tamu undangan.

Marcel, yang tampannya 1.823.412 kali dari Budi, Iwan, Boni, dan saya ternyata memilih bekerja keras. Tidak memilih untuk menjadi simpanan. Saat itu, mata hati saya terbuka lebih lebar. Hidup terdiri dari banyak pilihan. Setiap orang bebas memilih. Namun, setiap orang tidak bebas memilih konsekuensi dari pilihan-pilihan yang dibuatnya.

Marcel memilih kerja keras. Hasilnya? Belum terlihat 100 persen namun ia hidup dalam ketenangan dan berkecukupan. Budi memilih menjadi simpanan bule. Hasilnya? Sekolah kejar paket C gratis, perawatan muka gratis, dan masih banyak lagi. Namun, beberapa kali kiriman uang dari Papa bule tersendat. Akibatnya, perawatan muka dan pembayaran kejar paket pun terhambat.

Iwan bekerja dengan koneksi sang artis. Pergaulan di lingkungan selebriti menuntut standar hidup lebih tinggi. Lantaran uang tak mencukupi, ia nyambi jadi “kucing”. Boni? Semenjak keberadaaannya terendus istri bos, hidupnya kini di bawah pengawasan CCTV.

Saya? Masih meratapi nasib. Masih iri kepada sesuatu yang tak pantas untuk diingini. Teman kantor menasihati, “Kalau ada orang sukses karena menjilat apa kamu juga akan iri dengan dia yang bisanya hanya menjilat? Iri itu dosa. Kalau mau iri (berbuat dosa) mbok ya yang berkelas sekalian. Iri kok sama yang bisanya cuma menjilat. Lo dari dulu memang selalu pe ak.”

(WAYAN DIANANTO / ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait