Seorang Waria Mengamuk di Bioskop Lalu Diamankan Satpam

Wayan Diananto | 20 Desember 2016 | 15:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Hari ini, saya tiba-tiba teringat sebuah peristiwa beberapa bulan lalu. Saat itu, saya menonton film musikal di bioskop dekat kos dalam sesi midnight show. Agar tidak mengantuk, saya membeli cemilan di kafetaria bioskop. Di samping saya ada perempuan berambut panjang tergerai dan riasan tebal. Setelah melirik beberapa kali, barulah saya sadar ia laki-laki yang berdandan dan berbusana perempuan. Sebut saja, Mbak Ria.

Mbak Abal-Abal Versus Mbak Tulen

Ia membeli cemilan dan minuman. Setelah memesan, ia mengambil dompet di tas. Beberapa detik kemudian, Mbak Ria murka kepada si penjaga kasir, sebut saja Mbak Tulen.

“Kamu ngapain tertawa?” tanya Mbak Ria, dengan nada tinggi.

“Saya tidak tertawa, kok,” bantah Mbak Tulen.

“Kamu menertawakan saya, ya?” pekiknya, histeris.

“Enggak. Saya enggak tertawa,” jawab Mbak Tulen.

“Saya tahu kamu menertawakan saya. Kamu menertawakan penampilan saya, kan? Ngaku!” kali ini Mbak Ria lepas kontrol, mengambil brosur menu makanan dan berusaha melemparkannya ke arah Mbak Tulen. Sampai di sini, saya yang hanya berjarak semeter dari Mbak Ria mulai was-was. “Saya tidak menertawakan. Pak Sekuriti, tolong dong, Pak.” seru Mbak Tulen.

Akhir dari insiden ini bisa ditebak. Sekuriti menghampiri Mbak Ria, lalu menenangkannya. Yang paling membuat dada saya sesak, Mbak Ria diminta keluar dari area bioskop. Saya bertanya dalam hati, “Bagaimana dengan tiket yang terlanjur dibeli Mbak Ria? Apa uangnya dikembalikan? Bagaimana dengan uang yang terlanjur dibayarkan ke kafetaria? Apakah juga dikembalikan?”

Belum sempat mendapat jawaban, pintu teater 6 telah dibuka. Di dalam teater, konsentrasi saya buyar. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir bahwa Mbak Ria dan Mbak Tulen tampaknya sama-sama tidak siap menghadapi kenyataan. Begini nalar saya.

Sudah Siap Versus Belum Siap

Saya tahu ini Jakarta. Kota yang konon lebih bebas mengekspresikan diri. Kota dimana konon kita bebas menjadi siapa saja, kapan saja, dimana saja. Mbak Ria tampaknya lupa bahwa di Jakarta pun ada orang yang nalarnya belum sampai (dalam hal ini Mbak Tulen-red), yang belum bisa menjawab pertanyaan mengapa laki-laki bisa sampai berdandan perempuan?

Karena belum menemukan jawaban, Mbak Tulen tidak siap ketika ada laki-laki berdandan perempuan ujug-ujug muncul di hadapannya. Akibatnya, Mbak Tulen tertawa. Saya percaya, Mbak Tulen sebelum diterima bekerja, diajari bahwa pembeli adalah raja, eh, ratu. Siapa pun ia, asal bawa uang cukup untuk makan dan nonton, berhak masuk ke dalam bioskop. Mbak Tulen hanya belum siap bahwa di antara ribuan orang mampu di Jakarta, ada laki-laki yang berdandan perempuan.

Di sisi lain, Mbak Ria juga belum siap (atau lupa?) menyadari bahwa sebagian besar masyarakat kita yang sangat-sangat relijius ini belum (atau tidak akan pernah) siap menerima laki-laki yang berdandan perempuan. Maka, saat ditertawakan, ia tersinggung. Murka. Lepas kendali.

Ketidaksiapan membuat mereka bereaksi spontan. Kita tahu sama tahu, reaksi yang spontan, tanpa dipikirkan masak-masak acapkali berujung penyesalan. Mbak Ria bisa jadi menyesal karena amukannya malam itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Ia terusir. Mbak Tulen pun bisa jadi menyesal karena kehilangan pelanggan. Kalau pun tidak, ia tentu diliputi rasa takut dan bersalah.

Itulah risiko ketidaksiapan. Saya lalu teringat momen ketika tempo hari bertemu personel Trio Lestari, Tompi. Ia merilis album Romansa, yang lahir di tengah kondisi industri musik yang kacau. Single perdana album Romansa, “Bawa Daku”, menampilkan duet Tompi dengan Dian Sastrowardoyo. Tompi menyebut lagu “Bawa Daku” bernuansa urban dan sangat segmented.
 

Saya kemudian nyeletuk, “Sudah tahu jualan album susah, kok malah bikin lagu yang segmented sih, Mas? Apa enggak takut nanti albumnya enggak laku?”

Tompi tersenyum lalu menjawab, “Itu sebabnya saya sekalian membuat album segmented. Saya enggak mikirin jualan album dan apakah album saya nanti diganjar platinum. Enggak penting mau merilis lagu yang mana dulu sebagai single. Yang penting saya sebagai pemilik album suka dengan lagu-lagu yang saya buat. Itu saja.”

Jatuh Cinta Versus Patah Hati

Saat itulah saya sadar Tompi siap lahir batin. Ia sadar album bernuansa urban yang kental sulit diterima pasar. Tompi menyadari konsekuensi itu sejak awal. Karena sadar akan konsekuensi, Tompi tidak kaget saat single “Salahkah” atau “Sedari Dulu” meledak di pasar. Pun tidak kaget saat beberapa lagunya ditanggapi dingin oleh pasar.

Namanya juga sudah siap. Laku kek. Tidak laku kek. Santai saja. Lain ceritanya dengan Mbak Ria, Mbak Tulen, dan Mbak eh, Mas Wayan yang minggu ini di ambang bimbang. Beberapa bulan terakhir, saya merasa sepi. Bersamaan dengan datangnya sepi itu, seseorang mengajak saya kopi darat di kedai kopi. Di ujung obrolan, ia berkata, “Way, ini bukan pertemuan terakhir. Kita akan bertemu lagi.” Lalu, kami menyusun rencana indah untuk pertemuan berikutnya.

Tiga tahun menyendiri membuat saya terbiasa apa-apa sendiri. Maka, saat seseorang tiba-tiba hadir dengan tingkat komunikasi superintens (setiap hari ia mengirim pesan lewat ponsel cerdas. Jika saya lambat merespon, ia melayangkan “PING!!!”), membuat saya merasa dibutuhkan dan dihargai. Ada beberapa momen yang tidak mungkin saya ceritakan di sini.

Singkat cerita, saya lupa rasanya jatuh hati tapi tidak lupa rasanya sakit hati. Saya terlanjur mengikuti permainan yang diciptakan orang yang baru saja hadir ini. Sebagai catatan, saya ini pintar akting. Pintar berpura-pura. Bisa menyembunyikan rasa sepi hingga berbulan-bulan.

Sampai akhirnya tadi sore, saat makan malam bersama sahabat, pertahanan saya kebobolan. Saya curhat. Sahabat saya menasihati, “Way, kamu sudah terlanjur bermain. Sudah tidak bisa mundur lagi. Kalau sudah kadung bermain (perasaan), harus siap dua hal: jatuh hati dan patah hati. Kamu tidak bisa memilih untuk berada di tengah-tengah.”

Sore itu, untuk ke sekian kalinya saya seperti ditampar. Saya menuding Mbak Ria dan Mbak Tulen belum siap. Sementara saya? Sama saja dengan mereka. Ingin menangis, tapi malu. Sore itu, saya tidak hanya belajar soal siap dan tidak siap. Saya belajar satu hal sepele tapi penting: bagian paling menyakitkan dari menangis adalah ketika Anda terkondisi harus menahan agar air mata agar tidak menetes. Percayalah. Saya baru saja mengalaminya.

(WAYAN DIANANTO/ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait