Mengembalikan Esensi Hubungan dengan Tuhan melalui Masjid Sederhana

Qaris Tajudin | 18 Juli 2017 | 20:20 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Masjid itu terlihat begitu bersahaja. Terbuat dari bata lokal yang dibiarkan terekspos dan tak ditutup semen. Ukurannya juga tidak terlalu besar, mungkin hanya mampu menampung sekitar seratus jamaah. Hanya satu lantai, tanpa menara dan kubah.

Bahkan kita tak melihat pengeras suara dari luar. Bangunan itu seolah tidak ingin menonjol di antara bangunan lain di lingkungan sederhana di sebuah pojok Dhaka, ibukota Bangladesh.

Tapi, Masjid Bait Ur Rouf (bait: rumah, rouf: maha pengasih) ini mampu menjadi salah satu pemenang Aga Khan Award for Architecture 2016. Arsiteknya adalah Marina Tabassum.

Masjid ini berdampingan dengan bangunan-bangunan keren, seperti sebuah institut di Lebanon yang bergaya modern karya arsitek top dunia, Zaha Hadid; atau jembatan pedestrian raksasa yang menghubungkan dua taman di Teheran, Iran; atau sebuah taman bermain yang amat besar di Kopenhagen, Denmark.

Bait Ur Rouf dipilih justru karena kesederhanaannya. Beberapa tahun lalu, seorang perempuan tua--yang telah melewati banyak kepahitan hidup dan kehilangan banyak anggota keluarga serta suaminya--mewakafkan tanah seluas 754 meter persegi di Dhaka.

Sebuah bangunan sementara sempat didirikan di atasnya. Setelah perempuan itu meninggal, cucu perempuannya yang juga arsitek meneruskan keinginan sang nenek.

Tapi, sang cucu juga tak punya banyak duit. Dia tidak memaksakan diri membuat masjid bagus dengan, misalnya seperti banyak dilakukan oleh pengurus masjid di Indonesia, menarik sumbangan di tengah jalan. Yang dia lakukan adalah memangkas biaya pembangunan.

Selain beberapa tiang beton untuk konstruksi, dia menggunakan batu bata lokal yang murah. Satu-satunya material “mewah” di masjid itu adalah lantai keramik.

Untuk mengatasi kegerahan udara Bangladesh, ada banyak ventilasi di setiap sisi bangunan. Lubang-lubang kecil yang membuat angin masuk ke dalam masjid. Di depan mihrab atau tempat imam, ada lengkungan yang dibiarkan tanpa atap tempat udara masuk dengan lebih leluasa.

Tepat di tengahnya ada lubang setinggi dua meter yang mengingatkan kita akan salib cahaya di Church of Light-nya Tadao Ando. Tentu, bentuk lubang cahaya di Bait Ur Rauf tidak seperti salib, tapi hanya lubang lurus.

Di musim hujan yang deras disertai angin kencang, lengkungan tanpa atap itu mungkin akan menjadi masalah. Tampias hujan bisa saja masuk ke dalam masjid. Tapi, tampaknya sang arsitek sudah menghitung berapa sering peristiwa itu terjadi dalam setahun.

Sebagian besar waktu di sana diisi oleh udara yang sumuk. Bantuan sejumlah kipas angin juga diharapkan bisa membantu mereka untuk menghindari pemakaian pendingin ruangan.

Bagian depan dan sisi masjid dibiarkan ada undak-undakan yang bisa dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain atau orang dewasa yang sedang menunggu iqomat.

Kita tentu tidak bisa membandingkannya dengan masjid pendam Cami Sancaklar di Istanbul, Turki, yang mewah, menakjubkan, dan karenanya memenangi Building of The Year 2015 dari Hewlett-Packard. Bait Ur Rouf justru mengembalikan esensi dari hubungan kita dengan Tuhan: lewat cara yang sederhana.

 

HOME.CO.ID

 

Penulis : Qaris Tajudin
Editor: Qaris Tajudin
Berita Terkait