The Untold Story of "Jelangkung"

Wayan Diananto | 12 Maret 2016 | 15:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Sehari menjelang gala premiere film Jelangkung, produser Erwin Arnada (52) dan tim kecilnya mencari kembang kamboja di tempat pemakaman umum Karet Bivak dan Menteng Pulo, Jakarta.

Mereka pulang dari pemakaman menggotong tiga karung kembang kamboja. Bunga itu ditebarkan di karpet merah Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, tempat berlangsungnya gala premiere Jelangkung.

Sebenarnya, Erwin tidak terlibat dalam proses produksi Jelangkung. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani mengeksekusi film yang semula berjudul Hutan Bambu itu selama sembilan hari. Keduanya mengemas Hutan Bambu dalam format FTV untuk Trans TV.

Sebelum dikirim ke Trans TV, Rizal mengundang Erwin ke kantor rumah produksi Avant Garde di Tebet, Jakarta Selatan. Ada dua hal yang membekas di benak Erwin setelah menonton film itu.

Pertama, ilustrasi musik karya David Poernomo dinilai mampu menciptakan efek seram. Kedua, sahabat Erwin, sutradara video klip Oleg Sanchabakhtiar, tidak berani pulang sendiri setelah menonton film itu.

Erwin bilang kepada Rizal, “Sayang, kalau film seperti ini ditayangkan untuk FTV. Saya akan ambil untuk dibawa ke bioskop”.

Erwin kemudian mohon izin kepada Direktur Utama Trans TV, Ishadi S.K., agar penayangan FTV Hutan Bambu ditunda.

Selanjutnya, Erwin menemui petinggi jaringan bioskop Cinema 21, Benny Suherman dan Harris Lesmana, agar Jelangkung diberi kesempatan tayang di bioskop.

Pada semester pertama 2000, Jelangkung menjalani preview menggunakan proyektor digital Barco, di studio kecil. Proses peninjauan film ini (sebelum dilepas ke bioskop) hanya dihadiri sembilan orang. 

“Saat film berjalan 15 menit, tujuh orang memilih hengkang dari ruangan. Yang tersisa, Erwin dan Pak Naryo (petugas Cinema 21),” Erwin mengingat.

Insiden itu tak membuatnya patah semangat. Ia yakin ada sesuatu dalam film ini yang bisa memulangkan penikmat film Indonesia ke bioskop. Usai preview, Erwin mendapat tanggal edar dari Cinema 21, 5 Oktober 2001, dengan sejumlah syarat.

Jelangkung diputar di satu layar, Pondok Indah 21, dan hanya empat hari. Karena Jelangkung masih dalam format digital (bioskop saat itu memakai proyektor untuk pita seluloid), Erwin harus membawa DVD sendiri dan proyektor digital sendiri. Erwin menerima syarat-syarat itu.

Ia kemudian meraba-raba apa saja yang harus dilakukan untuk mempromosikan film. Salah satunya, menggelar gala premiere. Erwin bahkan tidak tahu kapan idealnya gala premiere digelar. 

Pertunjukan Pertama, 12 Orang

Erwin menghelat gala premiere dua bulan sebelum Jelangkung diedarkan. Tanggal yang dinanti akhirnya tiba. Hari pertama, Jelangkung hanya ditonton 12 orang. Itu pun teman-teman Erwin sendiri.

Pertunjukan kedua, disaksikan 20 orang. Hari kedua dan ketiga, sama suramnya.

Di balik suramnya jumlah penonton itu, sesuatu tengah terjadi. Penonton menceritakan apa yang sudah mereka saksikan kepada orang lain: sebuah film yang sangat mengerikan. 

“Hari keempat, manajer operasional Pondok Indah 21, Pak Teguh, menelepon saya. Dia bilang, banyak pecahan kaca di sini. Kaca loket bioskop pecah gara-gara penonton enggak sabar mengantre tiket Jelangkung? Masa mau menonton film Indonesia, harus beli tiket sehari sebelumnya?” ujarnya.

Erwin menggandakan kopi film dan memutar Jelangkung di Blok M 21. Pada Ramadan 2001, Harris mengusulkan supaya Jelangkung diputar secara nasional. Syaratnya, film yang dibintangi Winky Wiryawan itu mesti diubah dari format digital ke seluloid. Untuk membuat master film dalam format seluloid, Erwin, Rizal, dan Jose terbang ke Singapura.

Hasil penjualan tiket Jelangkung di Pondok Indah 21 mampu menutup beratnya biaya membuat master film, 300 juta rupiah, serta membuat salinannya 15 kopi—per kopi 11 juta.

Efeknya, luar biasa. Di Pondok Indah 21, Jelangkung bertahan selama tujuh bulan. Di Megaria 21 (kini Metropole XXI), ia menguasai empat dari enam layar.

Jelangkung ditonton sejuta orang lebih. Efeknya terasa hingga kini. Jelangkung datang tidak diundang. Kehadirannya mengantar nyali bagi para sineas muda agar lebih berani bikin film dalam format digital kemudian diubah ke format seluloid.

 

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait