Mira Lesmana Ungkap Kesulitan Selama Persiapan Syuting Film Bebas di Jakarta

Wayan Diananto | 21 April 2019 | 23:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Mira Lesmana (54) memproduksi film Bebas. Bebas yang diadaptasi dari film box office Korea Selatan, Sunny, ini disutradarai Riri Riza. Bebas mengisahkan 6 anak SMA yang membentuk geng di sekolah. Publik kemudian mempertanyakan apa bedanya Geng Bebas dengan Geng Cinta yang legendaris itu? Dikonfirmasi soal ini, Mira Lesmana menyebut Geng Cinta beranggotakan 5 cewek, sementara Geng Bebas terdiri 5 cewek dan 1 cowok.

"Versi Korea Selatan, latarnya sekolah perempuan. Di Jakarta hanya ada dua sekolah perempuan, yakni Santa Ursula dan Tarakanita. Kalau memotret secara utuh versi aslinya, itu agak membatasi ruang gerak para tokoh film Bebas. Akhirnya kami memilih latar belakang sekolah negeri yang lebih universal. Saya dan Riri Riza juga ingin memotret posisi perempuan di antaranya laki-laki lewat film ini,” ungkap Mira Lesmana kepada tabloidbintang.com di Jakarta, pekan ini.

Film Bebas nantinya menampilkan adegan kilas balik berlatar era 1990-an tepatnya, tahun 1995 dan 1996. Mira Lesmana menyatakan, memotret era 1990-an dengan segenap propertinya tidak sulit mengingat ia dan Riri Riza pernah memproduksi Kuldesak pada tahun itu. Ingatan akan suasana, properti, tren warna, model busana, hingga riasan masih terekam di benak kedua sineas ini. Hanya, mencari properti bajaj, majalah, minuman, suasana kantin, sampai video gim era 1990-an tidak gampang. 

"Tidak gampang tapi menyenangkan berburu pernak-pernik tahun 1990-an di zaman sekarang," ujar Mira Lesmana seraya menambahkan, "Kami mencari kurun waktu yang enak. Kami memilih 1995 dan 1996 dengan pertimbangan, kalau memilih 1997 dan 1998 terlalu gelap karena ada krisis ekonomi. Walaupun secara perubahan sangat menarik karena di ambang reformasi. Kami pilih 1995, era ketika pop culture meledak. Di saat yang sama, beberapa media diberedel pemerintah.”

Mira Lesmana menyebut, pada 1995 dan 1996 bibit-bibit gerakan politik mulai terasa namun revolusi belum tiba. "Jadi 1995-1996 tahun yang tak kalah menarik. Para remaja kala itu tidak merasa menjadi bagian dari pergerakan politik namun lingkungan sekitar mereka telah merefleksikannya," pungkasnya. 
 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait