"Hantu Pohon Boneka": Kisahnya Mengingatkan Kita Pada "The Conjuring" dan "Insidious"

Wayan Diananto | 17 Agustus 2014 | 07:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Ada baiknya Hollywood dijadikan kiblat tren film dunia, termasuk Indonesia. Saat horor negeri ini dijejali adegan hot sebagai magnet penarik penonton, Insidious (2010) hadir di bioskop Indonesia. 

Karya James Wan ini bertahan hingga sebulan lebih. Saat itulah, para produser film negeri kita terjaga. Bahwa horor tulen magnet yang sebaiknya tetap dibiarkan murni, agar daya pikatnya tetap kuat.
    
The Conjuring dan Insidious: Chapter 2 menguatkan teori itu. Para produser lantas kembali ke genre horor tulen yang berjaya dari tahun 2001 hingga 2006. Dimulai dengan Rumah Kentang (Jose Poernomo, 2012) yang menyedot sekitar 400 ribu penonton dan 308 dengan raihan 350 ribu orang. Mall Klender 330 ribu penonton, menyusul kemudian Oo Nina Bobo 290 ribu penonton. Terakhir, di tengah serbuan Hijrah Cinta dan Bajaj Bajuri, horor Kamar 207 masih mampu mengeruk 209 ribu penonton.
    
Desas-desus di kalangan produser menyebut, film horor dalam format digital ditonton 200 ribu orang saja sudah untung. Tak heran jika kemudian genre memedi diproduksi massal lagi. Hantu Pohon Boneka (HPB) contoh berikutnya. Kisahnya mengingatkan kita pada The Conjuring dan Insidious. Soal keluarga yang pindah ke rumah baru demi melupakan kesedihan masa lalu.
    
Wida (Ayu) memutuskan pindah ke Kota Kembang sepeninggal suaminya. Ia membawa tiga anaknya, Vino (Stuart), Lisa (Nana), dan Vivi (Reska). Agar rumah baru terawat, Wida mempekerjakan Sumi (Tuti). Bukannya ketenangan yang didapat Wida, melainkan teror. Indikasinya kentara ketika Vivi mengaku mendapat sahabat baru, Tini (Yafi T. Zahara). Lisa meyakini Tini sahabat imajiner. 
    
Kejanggalan lain, Vino, Lisa, dan Wida kerap melihat penampakan wanita berwajah retak pucat di rumah. Yang merasakan keangkeran rumah baru itu bukan hanya keluarga Wida. Sahabat Lisa, Lala, (Icha) misalnya, mencium aura negatif di dapur dan ruang tamu.
    
HPB berkutat pada satu keluarga. Kesalahan Nayato, lupa mengintensifkan dialog antartokoh. Alih-alih mengulik mengapa Lisa cenderung ketus, mengapa Vino (satu-satunya laki-laki yang tersisa di keluarga itu) terkesan menggampangkan perkara, atau menggali kondisi kejiwaan Vivi, Nayato malah memakai jurus lama: membombardir penonton dengan penampakan. 
    
Dalam kamus horor, penampakan itu penting. Tanpa penampakan, horor kehilangan identitas hakiki. Tanpa penampakan, biasanya horor dilabeli suspense atau thriller. Namun yang dilakukan Nayato berlebihan. Dalam 60 detik, Anda bisa melihat tiga penampakan. Frekuensi penampakan yang terlalu rapat sebenarnya tidak perlu. Penampakan hantu wanita bermuka pucat terasa kurang beralasan. 
    
Agar film ini terasa menegangkan, Nayato menambahkan dentuman musik scoring berulang-ulang. Ini pun jurus lama. Sejujurnya, tidak ada yang mengejutkan dari model horor ala Nayato ini. Tata sinematografinya indah seperti biasa. Naskahnya pun dangkal seperti biasa. Ending film ini terkesan menyepelekan persoalan yang susah payah dibangun. Google dijadikan solusi untuk persoalan apa pun termasuk lelembut.

Pemain    : Ayu Diah Pasha, Stuart Collin, Nana Mirdad, Reska Tania, Icha Anisa, Tuti K. Mentari
Produser    : Nayato Fio Nuala, Hendrayadi
Sutradara    : Nayato Fio Nuala
Penulis        : Baskoro Adi
Produksi    : My Dream Pictures
Durasi        : 72 menit

(wyn/adm)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait