[RESENSI] Di Kala Fajar Menyingsing: Kala Dapur Dijadikan Panggung dan Saksi Bisu

Wayan Diananto | 27 Februari 2019 | 05:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Salah satu kritik yang terlontar dalam malam puncak Piala Maya 2019 di Jakarta bulan lalu, menurunnya produksi film pendek Tanah Air. Padahal, film pendek sangat penting untuk mengusung isu-isu sederhana yang berkembang di masyarakat kita. Pekan lalu, tabloidbintang.com berkesempatan menonton film pendek Di Kala Fajar Menyingsing. Karya sineas Muhamad Hafiz Raafidin ini sederhana namun ujung filmnya membuat kita memikirkan beberapa kemungkinan.

Dikisahkan, beberapa menit menjelang subuh, Maya (Noviya) membangunkan kedua anaknya: Uji (Fauziah) dan Azka (Erlangga). Membangunkan dua anak meski bukan pengalaman pertama tetap saja memantik drama. Si sulung, diketahui senang bermain ponsel saat bangun tidur. Adiknya, melek mata pergi ke dapur dan mengecek meja makan. Djarot (Tubagus) sebagai suami sekaligus ayah tampak nyaman saja dengan kondisi semacam ini.

Akibatnya, Maya pontang-panting antara mengarahkan anak, memasak, dan menyediakan hati untuk mendengarkan jawaban ketus suami. Sambil memasak, ia meredakan pertikaian anak soal pemakaian kamar mandi hingga keluhan suami yang lupa menaruh kunci mobil. Meski lupa tetap saja Djarot tak mau disalahkan. Drama pagi ini berakhir dengan kekecewaan Maya.

Yang namanya film pendek, konflik yang disajikan mesti sederhana. Makin simpel dan mengena makin baik. Tak hanya sederhana, konflik mesti terkoneksi dengan audiens. Makin spesifik temanya, makin nendang efeknya. Di Kala Fajar Menyingsing memenuhi unsur ini. Drama pagi di rumah tentu pernah dialami setiap keluarga dari yang utuh seperti keluarga Djarot hingga yang menjadi orang tua tunggal sekali pun.

Menariknya, Di Kala Fajar Menyingsing memiliki konsep teaterikal. Film ini berlatar di dapur kediaman keluarga Djarot dari subuh hingga fajar terbit. Dapur dijadikan panggung sekaligus saksi bisu drama pasangan Djarot-Maya dan kedua anak mereka. Layaknya pertunjukan teater, dapur menjadi tempat pemberhentian satu-satunya. Sementara keempat pemain hilir mudik ke dapur seraya menunjukkan sifat asli mereka.

Muhamad tak mau langsung terus terang. Semula kondisi keluarga ini tampak baik-baik saja. Yang namanya anak malas-malasan bangun itu lumrah. Mulai mencurigakan ketika sang istri menanyakan soal mau minum apa kepada suami lalu jawaban yang diterimanya terdengar ketus. Akhir konflik ini adalah kekecewaan di pihak Maya saat mendapati tumbler suaminya tertinggal. Sebuah akhir yang multitafsir dan membuat kita berpikir sejumlah kemungkinan.

Benarkah Djarot hanya lupa? Jika ya, mengapa Maya tampak begitu kecewa dan lemas saat membersihkan meja lalu mendapati tumbler itu tertinggal. Jika memperhatikan ekspresi wajah Maya, kecewanya tampak dalam. Lalu penonton mengaitkan ekspresi Maya dengan dialog pasutri ini beberapa menit sebelumnya.

Konflik natural diperkuat dengan suasana dapur berikut pencahayaan yang detail. Dari remang, sinar matahari digambarkan menerobos dari balik jendela. Meski mentari menyingsing, tetap saja ada sudut-sudut dapur yang tak tersentuh sinarnya. Ini sejalan dengan suasana hati Maya. Meski berhasil menyiapkan anak-anak ke sekolah, sebagian hatinya meremang karena suami tercinta. Sebuah film yang menarik. Sayang pada 5 menit pertama, ia terasa statis. Cerita belum bergerak kemana-mana.

Pemain: Noviya Setiyawaty, Tubagus Guritno Ibo, Fauziah Azzahra, Erlangga
Produser: Julfikar Mahaputra
Sutradara: Muhamad Hafiz Raafidin
Produksi: Teater Genta, Biar Berbisik Film
Durasi : 22 menit

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait