[RESENSI] Kucumbu Tubuh Indahku: Menangisi Cinta dan Menertawakan Pahitnya Hidup

Wayan Diananto | 21 April 2019 | 18:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Garin Nugroho adalah merek besar. Ia identik dengan produk level festival, bahasa gambar dan dialog efektif, makna mendalam, serta gaya tutur eksentrik. Keeksentrikan ini menumbuhkan konsekuensi. Ada yang menggilai, ada pula yang bingung dan bertanya balik, "Benarkah film bermutu harus disampaikan serumit ini?" Saya sendiri selalu deg-degan saat menonton karya Garin. Khawatir level kecerdasan saya yang pas-pasan ini tak mampu mengikuti alur pemikiran Garin. Namun Kucumbu Tubuh Indahku (judulnya saja bikin mata saya mendelik) berkata lain.

Kisah Kucumbu Tubuh Indahku bermula dari kehidupan bocah bernama Wahyu Juno (Raditya). Nahas betul nasibnya. Setelah ayahnya pergi tanpa kabar, ia hidup bersama Bulik (Endah). Bersama Bulik, Wahyu membantu berjualan, mengecek ayam-ayam yang akan bertelur dalam waktu dekat, dan bersekolah. Bukannya rajin belajar, Wahyu malah sibuk membantu tetangga lain yang tidak tahu cara mengecek ayam yang hendak bertelur. 

Beberapa kali tepergok, Bulik berang lalu menghukum dengan menusukkan jarum ke jari-jari Wahyu. Terlalu asyik menolong tetangga membuat Wahyu gagal fokus di kelas dan menerima hukuman fisik dari guru. Rentetan peristiwa itu, termasuk menyaksikan tetangganya yang Guru Lengger (Sujiwo) membantai selingkuhan istrinya menggunakan sabit, membuat Wahyu trauma berat. Satu-satunya kenangan manis dari masa kecilnya, ujaran Guru Lengger. 

Sang Guru mengatakan, Wahyu memiliki badan bagus dan lentur. Sangat cocok jadi penari Lengger. Beranjak remaja, Wahyu (Muhammad) berkarier sebagai penari Lengger. Kesepian, masa lalu kelam, dan kurang kasih sayang membuat Wahyu membiarkan hatinya diisi dengan cinta dari siapa pun termasuk sesama laki-laki. Ia sempat main hati dengan seorang Petinju (Randy) dan hidup berdua dengan seorang Warok (Whani Dharmawan). 

Berbeda dengan film Under The Tree dan Generasi Biru, Kucumbu Tubuh Indahku relatif mudah dipahami. Beberapa dialognya mencerminkan selera komedi Garin yang merakyat. Itu tercermin dari para tetangga yang mengantre agar ayamnya disentuh Wahyu atau upaya sang petintu menjadikan bunga sebagai anting dan cincin buat Wahyu. Dalam dua adegan ini, Garin bisa jadi tidak bermaksud melucu. Namun sulit bagi saya untuk tidak tertawa atau minimal tersenyum.

Adegan-adegan itu membuat kisah Wahyu yang sejatinya muram dari awal hingga akhir tampak lebih berwarna. Isu yang diusung Garin berat. Dari perselingkuhan, pembunuhan, politik level kabupaten yang melibatkan ritual magis, kekerasan dalam rumah tangga, hingga homoseksual. Di tangan Garin, isu-isu ini tak lantas menjelma menjadi gambar-gambar vulgar.

Yang berdarah-darah ditampilkan lewat ekspresi dan gestur pelakon. Sujiwo mengeksekusi adegan dengan sangat ekspresif dan meyakinkan. Tanpa gambar vulgar pun kita bisa merasakan sakitnya dikhianati hingga gelapnya mata hati akibat terbakar cemburu berbalut amarah. Yang mestinya seronok ditampilkan lewat simbol dan aktivitas di balik tirai plastik yang tersapu hujan. Sinematografi yang disajikan Teoh Gay Hian mendefinisikan kelembutan dan keanggunan.   

Penonton dengan mudah menangkap adegan yang bergulir seraya menyimpulkan dengan tepat. Ini tidak akan terjadi jika para pelakon tampil ala kadarnya. Semua pemain di film ini tampil cemerlang. Selain Sujiwo, ada aktor cilik Raditya yang sesekali membuat kita kesal namun saya dapat memahami mengapa ia melakukannya. Di tangan Raditya, kita melihat kerapuhan Wahyu. 

Tongkat estafet Wahyu diserahkan Raditya kepada Muhammad yang melengkapi tokoh utama ini dengan kondisi kehilangan arah. Muhammad menghidupkan Wahyu yang kemudian memahami bahwa nasib seseorang ada di lembutnya tubuh. Bahwa trauma itu bagian hidup. Sepahit apapun, manusia harus mencintai tubuhnya. Karena tubuh membawa hidupnya sendiri. 

Nyaris sempurna dari aspek teknis maupun akting, Kucumbu Tubuh Indahku jelas merupakan salah satu film terbaik tahun ini. Ia salah satu film Garin yang paling komunikatif dengan adegan akhir menyentuh. Lewat film ini, Garin mengajak kita menangisi cinta dan menertawakan pahitnya hidup. Pada akhirnya, setelah semua kepahitan dan keputusasaan menindih, manusia tak punya pilihan lain selain bertahan lalu melanjutkan hidup. Sudah lahir sudah terlanjur, mengapa harus menyesal? Hadapi dunia berani, bukalah dadamu, tantanglah dunia... (Yang tahu lirik lagu ini silakan menyanyi).
 

Pemain: Muhammad Khan, Raditya Evandra, Sujiwo Tejo, Randy Pangalila, Endah Laras
Produser: Ifa Isfansyah
Sutradara: Garin Nugroho
Penulis: Garin Nugroho
Produksi: Fourcolours Films, Go-Studio 
Durasi: 1 jam, 46 menit

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait