Angker: Bagian yang Hilang, Ketegangan yang Hilang

Wayan Diananto | 6 Desember 2014 | 08:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Tanpa bermaksud apa-apa, dukun santet dan provinsi Jawa Timur tampaknya memiliki pertalian sejarah yang layak dijadikan pembelajaran. Kami ingat pada 1998, ada kasus dukun santet Banyuwangi yang memakan korban. Ini melibatkan "ninja" yang menurut saksi mata datang pada saat gelap (mati lampu). Saat penerangan menyala kembali, satu dua orang ditemukan tak bernyawa dalam kondisi tak manusiawi.

Kasus itu pernah diangkat ke layar lebar dalam Misteri Banyuwangi. Tema serupa diangkat oleh Muhammad Yusuf. Kali ini, berlatar Bangil, kecamatan di Pasuruan yang mendapat julukan Kota Bordir. Harun (Muhammad) yang bekerja sebagai kontraktor ditugaskan perusahaan ke Kalimantan. 
    
Istrinya, Ratna (Lia) bersama tiga anak mereka Ita (Adinda), Bimo (Ariel), dan Ayu (Armeena) pindah ke Bangil. Beberapa hari setelah menetap di rumah baru itu, Ratna berinisiatif mengundang para tetangga untuk selamatan. Tidak ada seorang pun yang datang. Bisikan aneh terdengar. Bunyinya, "Iki omahku, nyikriha saka omahku (Ini rumahku, tinggalkan rumahku-red)". 
    
Suara itu bersumber dari ruangan, di sudut halaman rumah. Di situ terdapat lukisan hitam putih, seorang nenek berdiri di antara pohon bambu. Rautnya kurang jelas. Beberapa hari kemudian, bisikan  datang lagi. Bersamaan dengan itu, Ratna mencermati lukisan tadi. Aneh! Di lukisan itu, nenek sudah tidak lagi berada di antara pohon bambu. Ia beringsut ke pelataran! Wajahnya kian jelas!
    
Muhammad Yusuf, sineas yang menghasilkan Kemasukan Setan, salah satu horor terbaik tahun lalu. Ia memproduksi Angker dengan ide sesegar horor sebelumnya. Ide yang jarang dilirik para sineas itu diolah dengan pendekatan seorang ibu yang memperjuangkan keselamatan anak. Sama seperi Kemasukan, Yusuf tak butuh banyak pemain untuk menghidupkan cerita. Sudut pandang, diambil dari sosok Ratna.
    
Interaksi yang dibangun adalah upaya Ratna mengenali rumah baru. Itu saja. Bahkan, anak-anak yang dibawa ke rumah baru tidak mendapat exposure yang memadai kecuali interaksi si bungsu dengan nenek dan perkenalan anak-anak Ratna di sekolah baru. Bahkan, interaksi jarak jauh antara Ratna dan Harun tidak tergambar. Alasannya, keterbatasan teknologi di dekade 70-an.
    
Bagian Harun yang hilang, mestinya terproyeksi di film. Penting untuk mengetahui, kecemasan seorang ayah atas keselamatan istri dan anak. Melalui Angker, Yusuf kembali menunjukkan kelihaian mengelola suasana mencekam. Yusuf tahu, kelemahan horor lokal adalah penampakan yang tidak perlu. Karenanya, sosok nenek yang kemudian kita kenal dengan Mbah Tun, muncul pada saat yang tepat. 
    
Kami menonton bersama penonton awam, suasana di bioskop penuh teriakan saat pertama kali Mbah Tun menampakkan diri. Ini indikator sederhana bahwa kehadiran sang memedi berhasil meneror audiens. Tiada film yang sempurna. Pun Angker. 
    
Ketika Ratna menjalankan ritual menemukan putranya. Ritual kain kafan adalah klimaks yang mestinya membuat napas penonton kembang kempis. Tidak ada yang salah dari adegan ini kecuali tata dialog Nyi Darsih yang selalu mengulang perintah tiga kali. Ini membuat penonton terbahak. 

Pemain    : Lia Waode, Ariel Yovani P., Armeena Yusuf, Adinda Divia, Muhammad Yusuf
Produser    : M. Zainudin, Amin Adios 
Sutradara    : Muhammad Yusuf
Penulis        : Muhammad Yusuf
Produksi    : Triple A Films, Bali Bumerang Films 
Durasi        : 89 menit

(wyn/adm)
Foto: Triple A Films

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait