Danau Hitam: Membandingkan "Tribute" dengan Sang Legenda

Wayan Diananto | 13 Desember 2014 | 16:44 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Bulan ini, tepat 13 tahun lalu, pemilik jaringan bioskop 21 menggandakan seluloid film Jelangkung. Karya Jose Poernomo dan Rizal Mantovani itu semula hanya tayang di salah satu bioskop Ibu Kota (kalau tak salah, Pondok Indah 21). Tanpa promosi, Jelangkung mencipta kengerian. Dialah momok bagi jutaan moviefreak negeri ini. Tidak sekadar pionir memedi di milenium baru, Jelangkung ialah legenda, standar baru horor lokal, trendsetter, kuda hitam. Terserah Anda mau menyebutnya apa.

Jose memperingati mahakaryanya sendiri dengan menggarap Danau Hitam (DH). Sebelum film dimulai, Jose memberi catatan kecil: maksud film ini menjadi semacam tribute atau penghormatan untuk Jelangkung. Ia juga menyebut Rizal, sang partner in crime yang sukses membuat penonton tak bisa tidur berhari-hari 13 tahun silam. Langkah Jose dengan memanfaatkan angka "13" ini menarik. Klasik. 

Perhatikan kisahnya. Andrean (Ganindra) mengajak kekasihnya Keyla (Nadine) bertualang ke sebuah danau. Ia mengajak tiga temannya, Audi (Maria), Boy (Denny), dan Joni (Daniel). Sesampainya di danau, mereka merenangi air berwarna hijau kebiruan. Sampai Andrean menemukan peti kayu yang tergembok di dasar kolam. Semenjak itu, sesuatu yang mengerikan membayangi. 
    
Dimulai dari mimpi tentang pintu yang terkunci, yang seolah memanggil mereka untuk masuk. Anehnya, lima remaja ini memimpikan hal yang sama. Lalu muncul sosok anak kecil yang terpasung. Sosok yang hanya dapat dilihat dengan perantara cermin.
    
Banyak elemen DH yang bisa kita bandingkan dengan Jelangkung. Pertama, cerita. Sekelompok remaja mendatangi tempat asing. Jelas, ini terinspirasi Jelangkung. Meski, anak muda di Jelangkung memiliki alasan lebih kuat. Mereka memang penasaran mengunjungi tempat-tempat wingit. Sementara dalam DH, sekumpulan remaja ini hanya mencari tempat indah dengan modal informasi dari pembantu. Gaya menakut-nakuti? Jelas. DH terinspirasi pendahulunya. 
    
Hantu anak kecil yang melahirkan trauma dalam Jelangkung adalah ikon yang tak akan terganti. Film ini juga melahirkan banyak ikon legendaris (Suster Ngesot, kisah Rumah Kentang misalnya). Sosok anak kecil pula yang menebar teror dalam DH. Kendati beda kelamin. Adegan Keyla mengobrol dengan Audi di sofa. Lalu menyadari bahwa Audi (yang asli) di lantai mengingatkan kita ketika Ferdi (Winky Wiryawan) syok melihat temannya "menjadi dua".
    
Pengambilan? DH lebih unggul. Close-up rumah berhantu yang kemudian "ditarik" oleh kamera menjadi gambar panorama melintasi semak, keren. Lanskap hutan dan gambar bawah air adalah hal yang tak Anda jumpai di Jelangkung. Tata suara DH pun lebih jernih dari segala penjuru. Dalam kurun 13 tahun, kecanggihan teknologi sinema berevolusi.
    
Secara teknis, DH menyempurnakan pencapaian pendahulunya. Dari segi akting dan alur cerita, (maaf) DH terbelenggu platform pendahulunya. Patut diingat, para pemain Jelangkung adalah debutan yang kemudian meroket. Winky Wiryawan menjadi populer dan hampir selalu mendapat peran utama di banyak genre. Harry Pantja menjadi ikon reality show Dunia Lain. Ronny Dozer kemudian menjadi salah satu "wayang" kocak di Extravaganza. Yang agak tenggelam barangkali Melanie Ariyanto. 
    
DH tidak mengambil pemain debutan. Ia merekrut pelakon yang telah punya nama. Waktu yang akan menguji akankah tribute ini menyusul pendahulunya menjadi legenda? 

Pemain    : Nadine Chandrawinata, Ganindra Bimo, Denny Sumargo, Maria Selena, Daniel Topan
Produser    : Gope T. Samtani
Sutradara    : Jose Poernomo
Penulis        : Jose Poernomo
Produksi    : Rapi Films
Durasi        : 95 menit

The Scariest Scene: Boy ditinggalkan Andrean di hutan. Tak tahu jalan menuju rumah angker. Lalu ia melihat pintu kayu yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Boy memasuki pintu itu. Lalu terkunci di dalam. Perharikan kilatan cahaya beberapa kali yang membentuk wajah seorang perempuan. Damn!

(wyn/adm)
Foto: Dok. Rapi Films

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait