Filosofi Kopi: Biji Naskah Kelas Premium Bertemu Barista Sineas

Wayan Diananto | 18 April 2015 | 09:29 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - “Kamu meracik kopi dengan ambisi. Pak Seno (Slamet) meracik kopinya dengan rasa cinta. Itu bedanya kamu dengan Pak Seno!” pekik El (Julie) kepada Ben (Chicco) di sebuah hotel. Ben dalam amarahnya menuding El biang keributan di antara ia dan Jody (Rio). Ben dan Jody ditantang pengusaha (Ronny P. Tjandra) meracik kopi untuk disuguhkan kepada klien (Baim Wong). Klien ini coffee enthusiast.

Sang klien keliling dunia demi berburu kopi nikmat. Jika racikan Ben menyenangkan hati klien, itu artinya, si pengusaha akan menang tender bernilai miliaran. Dan itu artinya, Ben-Jody yang terlilit utang 800 juta akan mendapat komisi 1 miliar. Masalahnya, mencari biji kopi bercita rasa prima bukan perkara mudah. Filosofi Kopi (FK), kumpulan cerita pendek yang disusun Dee sejak 1996.

Kumpulan cerita itu menemukan jodoh duet produser Anggia-Handoko. Setelah edar di bioskop, FK akan menemukan takdir untuk dibanding-bandingkan dengan versi cetak. Patut diingat, FK bukan disarikan dari tulisan Dee. Melainkan merentangkan tulisan Dee yang sebenarnya pendek. 

Konsekuensinya, FK memunculkan momen-momen yang tidak ada dalam cerpen. Apalagi, FK berdurasi lebih panjang daripada film kebanyakan yang hanya 90 menit.

Di sinilah kelebihan Angga dan Jenny. Keduanya bagai barista yang memenangkan lelang biji skenario kualitas premium bermerek Dee. Jenny menyangrai biji-biji skenario itu. Angga sebagai barista memakai beberapa alat pengolah yakni Julie, Chicco, Rio, Slamet, Jajang, dan lain-lain. Alat-alat dengan kinerja prima. 

Chicco dan Rio menimbulkan sensasi pahit dan manis pada saat bersamaan. Rio bermain lepas. Karakternya dipertegas lewat sudut pikir penuh perhitungan. Sedikit terasa klise lewat latar belakang keluarga Tionghoa. Namun, klise berubah jadi rasional mengingat almarhum ayahnya menyisakan tunggakan utang. Sementara penampilan Chicco yang tak kalah dahsyat. 

Ia memberi emosi lewat raut, beban karakter, dan perubahan fisik yang signifikan. Ikatan keduanya menjadikan kopi dalam bentuk film ini sedap. Aroma alurnya membuai, termanifestasi dalam kalimat-kalimat Jenny yang membekas di hati. Jenny, meski belum punya portofolio film sepanjang Titien Wattimena misalnya, terampil mengandaikan hubungan. 

Bukan hanya soal kopi, tapi juga hubungan antarkarakter. Itu sebabnya, FK tak terasa menyeret penonton. Ia hanya menghanyutkan penonton lewat pertalian emosi dan hubungan antarkarakter yang cenderung memanas. Karena kombinasi El-Jody-Ben cenderung berbenturan dan meletupkan rentetan konflik. Kalaupun tidak panas, akan terasa hangat. Namun kalau dipikir-pikir, hangat adalah bentuk penyajian yang disarankan untuk sebuah kopi. Juga film.

Suasana kian hangat berkat barisan soundtrack yang mampu menerangkan adegan demi adegan. Satu nomor yang paling kami sukai, “Semesta” dari Maliq & D' Essentials. Hadir di akhir film membuat ending film terasa laras. Sedikit kritik, desain posternya, kok tidak senendang cita rasa filmnya, ya?

 

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait