RESENSI Harim di Tanah Haram : Konflik Menumpuk, Karakter Terpuruk

Wayan Diananto | 18 Desember 2015 | 21:16 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Apa manusia tak berhak mengalami perubahan nasib secara dramatis? Pertanyaan ini terus berkelebat di benak kami sepanjang menyaksikan film Harim di Tanah Haram. Yang menimpa karakter utama film ini sangat ekstrem. Beberapa fase yang dilewatinya membuat kami beberapa kali menggumam, "Ah, sudahlah! Namanya juga film." Kesan "film banget" ini yang sebenarnya mengganggu.

Masa kecil Zasqia atau Qia (Sylvia) sangat traumatis. Suatu malam, rumahnya digerebek warga. Ibunya dituding berbuat noda oleh warga desa lalu dihakimi hingga tewas. Ayahnya (Tio Pakusadewo) meninggalkannya begitu saja. Qia kecil (Al Waqiah) dipungut Kiai Kahar (Wawan).

Dibesarkan di pondok pesantren, membuatnya terampil membaca Alquran. Ia menjadi ustazah. Pesanten Kiai Kahar kerap mendapat bantuan dari para dermawan. Salah satunya, Basri (Billy). Basri berniat menikahi Qia.

Pernikahan terjadi. Namun, hanya seumur jagung. Basri ternyata beristri banyak dan kerap menjadikan istri-istrinya "alat" untuk melayani fantasi seksnya. Menyadari suaminya "sakit", Qia minggat dan bekerja sebagai pramusaji kafe. Di kafe itu, ia bertemu Farida (Cahya) yang kemudian membawanya ke Jakarta. Farida ternyata mucikari. Qia dijadikan pelacur. Suatu malam, saat dikirim ke sebuah hotel untuk melayani pria hidung belang, Qia berpapasan dengan Azzam (Irwansyah).

Hidup si karakter utama layaknya roller coaster dengan tingkat kecuraman sangat ekstrem. Dari menyaksikan ibunya dihakimi massa, lalu jadi ustazah, lalu dinikahi pria penggila seks ramai-ramai, lalu jadi pelacur. Masih banyak "lalu" dan "lalu" lainnya yang membuat kita tercengang.

Jika Anda mau bocoran, lalu Qia bertemu pria tampan, lalu ia dibawa ke Turki, lalu ia divonis kena kanker, lalu pergi ke Tanah Suci. Alurnya terlalu cepat. Mendekati menit-menit akhir penyelesaian konflik yang beruntun itu terasa sangat instan. Mulai dari penyakit yang tiba-tiba hilang. Tiba-tiba bisa terbang ke Tanah Suci, dan masih banyak tiba-tiba lainnya.

Dengan konflik superrapat yang harus rampung dalam tempo kurang dari 120 menit, mustahil untuk tidak menghindari penyelesaian instan. Karakter-karakter utama seolah berdiri begitu saja. Para karakter pendukung sekadar lalu lalang. Sayang sekali. Padahal, kisah ekstrem seperti ini jika tergarap rapi memungkinkan penonton berempati hingga menangis.

Ini bisa tercapai jika deret konflik dikurangi dan atau disederhanakan. Dengan begitu, penonton tidak akan repot mencerna banyaknya konflik ekstrem dan diberi kesempatan jatuh cinta pada karakter utama. Karakter utama maupun pendukung bisa berkembang optimal. Manfaat lain, konflik yang tidak terlalu banyak bisa digambarkan lebih detail dan diselesaikan tanpa mencederai nalar.


Pemain        : Sylvia Fully, Irwansyah, Wawan Wanisar, Billy Boedjanger, Cahya Kamila, Al Waqiah
Produser    : H. Abu Hamzah, Nur Syariah Mansyur, Ibnu Agha
Sutradara    : Ibnu Agha
Penulis        : Yudianto, Majayus Irone, Gandhi Ansyari
Produksi    : Qia Film Mediatama
Durasi        : 114 menit

(wyn/red)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait