[RESENSI FILM] Istirahatlah Kata-kata, Biarlah Gambar-gambar Yang Berbicara...

Wayan Diananto | 29 Januari 2017 | 20:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Wiji Thukul (Gunawan) hilang. Lebih tepatnya, menghilangkan diri.

Sementara rumahnya didatangi intel (Rukman). “Bapak masih sering pulang?” tanya intel kepada putri Wiji Thukul, Fitri (Putri Fathiya). “Bapak masih sering membelikan buku? Bapak masih sering membelikan boneka?” intel, mencecar. Fitri diam. Ibunya, Sipon (Marissa) bungkam. “Anak kecil yang pemberani,” pungkas intel, setelah menyadari larik-larik pertanyaannya menemui jalan buntu.
    
Yang dicari-cari intel rupanya menyeberangi Laut Jawa. Terasing di Pontianak, Kalimantan Barat. Wiji mendapat pertolongan dari teman-temannya, seperti Martin (Eduwart), Thomas (Dhafi), dan Ida (Melanie Subono). Pengejaran yang dialami Wiji, terkait dengan puisi-puisi yang ditulisnya. Mayoritas tulisan Wiji, tentang ketidakadilan. Ini yang membuat pemerintah kala itu gerah. 

Tulisannya dinilai terlalu lantang di era 90-an. Pada 1996 muncul Partai Rakyat Demokratik (PRD). Rezim kala itu menyebut gerakan PRD bentuk penentangan terhadap kedaulatan. Mereka yang terlibat atau diduga terkait dengan partai ini mendapat tekanan. Wiji, salah satu yang dianggap bersentuhan dengan PRD. Status buronan membuatnya mengeluh. 

Satu keluhan Wiji yang paling membekas, di sepanjang film ini, “Ternyata menjadi buronan itu jauh lebih menyeramkan daripada berhadapan dengan sekompi 'kacang hijau' bersenapan yang membubarkan demonstrasi.”

Dari investigasi intel, gambar Yosep membidik tokoh paling sentral, yang nama lengkapnya (kalau tidak salah-red) hanya disebut satu kali dalam film. Itu pun yang menyebut, istrinya sendiri. Istirahatlah Kata-kata, yang menjadi judul film ini merupakan kalimat pertama dalam puisi pertama yang dibacakan Wiji dalam film. Ia kemudian mewakili cara bertutur sineas Yosep Anggi Noen saat menyajikan sepenggal babak kehidupan pelarian.

Film ini benar-benar mengistirahatkan kuping dari bisingnya dialog. Film ini meminimalkan ketebalan naskah. Sunyi. Sepi. Lengang. Itulah kesan yang saya rasakan sepanjang menapaki jejak sang buronan. Bukan karena Yosep kekurangan referensi. Senyap dalam film ini mencerminkan apa yang dirasakan oleh sejumlah karakter yang kita hormati.

Sipon (perempuan terkuat dalam film ini), kesepian ditinggal suami. Fitri (yang membisu di sepanjang film) kesepian kehilangan sosok ayah yang semestinya diteladani dan melindungi. Wiji tak perlu ditanya. Tak ada yang lebih menyakitkan selain berpisah dari alasan hidupnya. Sepi yang tergambar dalam Istirahatlah Kata-Kata bagi saya bentuk lain dari ketidakberdayaan.

Mengapa? Mayoritas film biografi di negeri ini bertutur dengan pola yang hampir sama. Ada sepenggal kisah masa kecil di awal, perjuangan dengan sensasi drama yang pekat di pertengahan, klimaks, lalu hasil dari perjuangan sang tokoh. Semua itu diracik untuk memperlihatkan daya dan pengaruh untuk dibawa pulang oleh penonton. Yang dibawa pulang penonton itu biasanya: decak kagum. Tapi bukan itu yang ingin dituju oleh Anggi Noen.
    
Wiji (bagi keluarga dan kita yang pernah merasakan asyiknya 90-an) adalah si pemberani, kalau enggan menyebutnya pahlawan. Keadaan dan penguasa membuatnya tidak berdaya. Film ini dimulai dengan ketidakberdayaan seorang istri dan seorang anak. Diakhiri dengan ketidakberdayaan seorang suami dan seorang ayah. Lalu, apa yang didapat penonton dari kisah yang tak berdaya ini? Perenungan. Ternyata, negeri kita memiliki banyak pekerjaan rumah yang mangkrak. Tidak pernah terselesaikan. Atau belum terselesaikan? Atau malas menyelesaikan?

Diperankan dengan apik oleh Gunawan Maryanto, Wiji menjadi jelata dengan daya tahan dan daya juang yang membara. Meski akhirnya, secara fisik, bara itu menjauh lantas buram tanpa penjelasan. Dalam kehidupan nyata tidak ada yang tahu bagaimana Wiji “padam”. 

Sementara Marisa, di luar dugaan memberi performa yang (meski tidak dominan) membuat kita tahu rasanya ditinggal pergi dan tiba-tiba didatangi. Istirahatlah Kata-Kata, biografi nyentrik dengan awal pada satu masa dan akhir pada satu masa. Ia mendefinisikan momen kehilangan yang berakhir dengan kehilangan berikutnya. 

Pada kehidupan nyata kita tahu, Wiji kembali meninggalkan istri dan anaknya. Ia pergi ke tempat pelarian, muncul kembali dalam gerakan yang diyakininya. Lalu, meletuslah peristiwa Mei 1998. Sebulan sebelum The General Smile lengser, Wiji hilang. Lebih tepatnya, “dihilangkan”.

Pemain: Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Eduwart Boang, Dhafi Yunan, Rukman Rosadi
Produser: Yulia Evina Bhara, Yosep Anggi Noen
Sutradara: Yosep Anggi Noen
Penulis: Yosep Anggu Noen
Produksi: Yayasan Muara, Limaenam Film, Partisipasi Indonesia, KawanKawan Film
Durasi: 1 jam, 37 menit


(wyn/ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait