5 Cara Lembut Mendisiplinkan Anak Tanpa Membentak atau Memukul

Binsar Hutapea | 23 Juni 2025 | 04:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Masih banyak anggapan dalam masyarakat bahwa anak hanya akan menurut jika dibentak, bahkan dipukul. Pandangan ini sering dianggap sebagai bentuk "cinta yang keras" dan diwariskan turun-temurun. Namun faktanya, cara disiplin yang berbasis ketakutan mungkin dapat menghentikan perilaku anak secara instan, tetapi tidak mengajarkan alasan di balik tindakan mereka.

Penanaman nilai yang benar tidak datang dari kontrol, melainkan dari koneksi emosional antara orang tua dan anak. Berikut lima pendekatan disiplin dan penuh kasih yang dapat mengoreksi perilaku anak tanpa perlu meninggikan suara—apalagi memukul.

1. Berhenti Sejenak: Tarik Napas, Biarkan Emosi Reda
Banyak yang percaya bahwa disiplin harus diberikan secara langsung. “Bertindak cepat agar anak belajar,” begitu katanya. Namun, dalam kondisi emosional yang memuncak, pelajaran tidak akan tersampaikan—yang dominan justru emosi.

Memberi jeda beberapa detik untuk bernapas dan menenangkan diri justru lebih efektif. Ini menunjukkan bahwa perasaan besar itu wajar, tetapi tidak harus menguasai situasi. Anak-anak yang terbiasa melihat ketenangan ini, akan mulai menirunya dalam mengelola emosinya sendiri.

2. Bertatap Mata di Ketinggian yang Sama
Kedengarannya sepele, tetapi dampaknya sangat besar. Berbicara kepada anak sambil berdiri tegak bisa terasa mengintimidasi. Dunia orang dewasa yang besar sering kali membuat anak merasa kecil dan tak berdaya.

Dengan berlutut atau duduk di samping mereka, energi komunikasi langsung berubah. Kontak mata menjadi lebih hangat, dan nada suara pun melunak secara alami. Ini menciptakan rasa aman dan membangun kepercayaan. Anak-anak tidak selalu melawan karena nakal—sering kali mereka hanya merasa tidak didengar atau tidak nyaman.

3. Turunkan Nada Suara: Kadang Bisikan Lebih Didengar
Semakin keras suara kita, semakin serius situasinya—setidaknya itu yang kita pikirkan. Tapi kenyataannya, teriakan justru memicu respons stres pada anak: melawan, lari, atau membeku. Dalam kondisi ini, otak anak tidak sedang belajar, melainkan bertahan.

Justru, berbicara dengan nada lembut di saat tegang dapat menarik perhatian anak lebih cepat daripada membentak. Ini terasa tak terduga dan membangkitkan rasa penasaran, bukan ketakutan. Suara yang lembut menunjukkan bahwa kita tetap tenang dan siap mengatasi situasi bersama.

4. Gunakan Kalimat “Aku Merasa...” daripada Menyalahkan
Ucapan seperti “Kenapa kamu begitu?” atau “Lihat yang kamu lakukan!” membawa nuansa menyalahkan. Kalimat-kalimat ini membuat anak merasa merekalah masalahnya, bukan bagian dari solusi. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak rasa percaya diri dan keamanan emosional mereka.

Alternatifnya, ungkapkan perasaan pribadi secara lembut. Contohnya: “Aku merasa khawatir kalau mainan dilempar. Bisa rusak atau melukai orang lain.” Dengan pendekatan ini, anak belajar empati dan memahami dampak dari tindakannya.

5. Istirahat Tenang: Bersama atau Sendiri, Tapi Selalu dengan Cinta
Time-out sering disalahartikan sebagai bentuk hukuman. Namun di lingkungan penuh kasih, momen ini bisa menjadi waktu refleksi atau ketenangan. Ketika suasana hati memanas, jeda sejenak bisa membantu semua pihak untuk mereset emosi.

Bagi sebagian anak, pelukan lembut jauh lebih menenangkan daripada ceramah. Bagi yang lain, duduk sendiri di pojok nyaman sambil membaca buku atau mendengarkan musik lembut bisa menjadi solusi. Tujuannya bukan mengisolasi, melainkan membantu anak belajar mengatur emosinya sendiri—dan memastikan bahwa kesalahan tidak pernah menghapus kasih sayang.

Penulis : Binsar Hutapea
Editor: Binsar Hutapea
Berita Terkait