Antara Ingin Disukai dan Dihormati: Dilema Orang Tua Masa Kini
TABLOIDBINTANG.COM - Mengasuh anak kerap menjadi seni menyeimbangkan antara kelembutan dan ketegasan. Kasih sayang dan kelonggaran tentu penting, namun ketika terlalu banyak “ya”, terlalu sedikit batasan, dan aturan berubah menjadi sekadar saran, pola asuh bisa bergeser menjadi permisif. Niat awalnya mungkin baik—ingin menjadi teman, bukan atasan—namun akhirnya justru menciptakan kekacauan di rumah.
Anak yang tak lagi mendengarkan, kerap membantah, atau menghindari tanggung jawab bisa membuat orang tua merasa bingung dan patah semangat. Namun kabar baiknya, kondisi ini bukanlah akhir dari segalanya. Dengan kesadaran dan usaha yang konsisten, otoritas serta rasa saling menghargai bisa dibangun kembali—tanpa harus menjadi keras.
Ketika Aturan Menjadi Sekadar Permintaan
Kalimat seperti “Tolong jangan lempar itu ya” atau “Akan menyenangkan kalau PR-nya dikerjakan” terdengar lebih seperti ajakan, bukan aturan. Jika arahan disampaikan dengan nada ragu atau tanpa tindak lanjut, itu bisa menjadi tanda batasan mulai kabur.
Anak-anak berkembang dengan baik ketika aturan jelas dan konsisten. Bila batasan selalu terasa bisa dinegosiasikan, mereka cenderung mengabaikannya—bukan karena memberontak, melainkan karena bingung terhadap sinyal yang mereka terima.
Solusi:
Gunakan pernyataan tegas tapi hangat. Misalnya, “Melempar tidak boleh dilakukan di dalam rumah. Ayo kita cari cara main yang lebih aman.” Bahasa yang jelas dan disampaikan dengan tenang membantu membangun ulang ekspektasi secara perlahan.
Ketika Amarah Anak Menentukan Segalanya
Setiap kali anak menangis, marah, atau menolak, rencana pun berubah. Makan malam dibatalkan, waktu belajar dilewati, atau jadwal tidur tergeser—emosi anak mulai mengatur aturan rumah.
Merespons emosi besar dengan empati memang penting, tapi jika ledakan emosi selalu menentukan hasil, anak belajar bahwa tantrum adalah alat untuk mendapatkan keinginannya. Cara orang tua merespons jauh lebih membentuk daripada sekadar menuruti permintaan.
Solusi:
Alih-alih larut dalam amarah anak, tetap tenang dan konsisten. Kalimat seperti “Ibu tahu kamu kesal. Kita bisa bicara setelah kamu tenang.” memberi ruang bagi anak untuk merasa didengar, namun tidak memegang kendali atas keputusan.
Rumah Tanpa Konsekuensi
Tugas rumah diabaikan, waktu bermain gadget tidak dibatasi, dan permintaan maaf tidak disertai perubahan perilaku. Kesalahan hanya ditanggapi dengan “Tidak apa-apa” tanpa arahan apa yang seharusnya dilakukan lain kali.
Pola asuh permisif sering kali lahir dari rasa takut menciptakan konflik atau terkesan terlalu keras. Padahal, konsekuensi yang konsisten (bukan hukuman) justru mengajarkan tanggung jawab. Anak belajar dari konsekuensi alami, bukan dari rasa bersalah.
Solusi:
Hubungkan kembali tindakan dengan hasilnya. Misalnya, mainan yang tidak dibereskan akan “istirahat” selama sehari. Jika PR tidak dikerjakan, maka waktu layar berhenti. Intinya bukan pada beratnya konsekuensi, tapi pada konsistensinya.
Ingin Disukai Lebih dari Dihormati
Orang tua berubah menjadi “penghibur” yang berusaha menjaga suasana tetap menyenangkan, dan keputusan diambil bukan demi pertumbuhan anak, tapi demi menghindari kekecewaan.
Keinginan untuk disukai, terutama oleh anak, adalah hal manusiawi. Namun, menjadi orang tua bukanlah kontes popularitas—melainkan peran kepemimpinan. Seperti kata pepatah, “Rasa hormat menumbuhkan cinta yang lebih dalam, bukan sebaliknya.”
Solusi:
Mulailah dari keputusan kecil yang tegas. Menolak camilan tambahan, menjaga jam tidur tetap konsisten, atau tidak menyerah pada rengekan. Anak justru merasa lebih aman ketika ada sosok yang percaya diri memimpin mereka dengan batasan yang jelas.
Ketika Orang Tua Lelah secara Emosional tapi Tak Tahu Alasannya
Rumah terasa penuh kebebasan, namun orang tua justru kelelahan, merasa tak didengar, bahkan diam-diam menyimpan rasa jengkel. Waktu untuk diri sendiri hampir tak ada karena suasana rumah sepenuhnya ditentukan oleh suasana hati anak.
Pola asuh yang terlalu longgar bisa menguras emosi. Ketika batasan hilang, ruang pribadi pun ikut lenyap. Jika orang tua terus menyesuaikan diri dengan keinginan anak, rasa saling menghargai perlahan terkikis.
Solusi:
Bangun batasan untuk diri sendiri. Waktu tenang, percakapan antar orang dewasa, hingga jeda dari layar untuk semua anggota keluarga menunjukkan bahwa kebutuhan orang tua juga penting. Anak belajar menghormati batasan dengan melihat bagaimana orang tuanya juga menjalani batasan itu.