"Thor: The Dark World", Film Superhero Rasa "The Lord of the Rings"

Ade Irwansyah | 4 November 2013 | 13:23 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - SEBELUM yang lain-lain, beruntunglah mereka yang menonton film ini, Thor: The Dark World, sampai tuntas hingga credit title usai.

Sebab, seperti lazimnya film-film superhero/fantasi bikinan Hollywood belakangan ini, ada adegan tambahan diselipkan saat credit title berjalan dan juga usai credit title. Dua adegan tambahan itu menggenapi Thor: The Dark World. Yang satu sebagai pijakan untuk film berikutnya, satunya lagi sebagai penutup film.

Film Thor kedua ini (film pertama rilis 2011) bukan saja lanjutan film sebelumnya, tapi juga lanjutan The Avengers (2012), film yang mempertemukan superhero-superhero keluaran Marvel dalam satu film (Hulk, Thor, Captain America, Iron Man, dkk).

Sejak beberapa tahun ini kita sepenuhnya dibuat menyadari, seperti halnya di komiknya, para superhero hidup dalam semesta yang sama. Artinya, film tentang Thor, Hulk, Iron Man, Captain America punya saling keterkaitan.

Itu sebabnya di Thor kedua ini, disebut kejadian di New York (di film Avengers), tentang keberadaan S.H.I.E.L.D. (ini bisa pula mengacu pada serial TV berjudul sama yang tengah tayang di AS), ada cameo Captain America (sebagai penjelas bahwa para superhero itu hidup dalam semesta yang sama). Semua itu hadir di depan penonton tanpa penjelasan, penonton dianggap sudah menonton film-film superhero Marvel yang lain.

***

Oke, sekarang tentang filmnya. Berbeda dengan superhero lain yang memperoleh kekuatan lewat "kecelakaan" percobaan ilmiah (Hulk, Spider-man, Flash) atau dendam kesumat (Batman), Thor memang dari sananya sudah punya kekuatan super. Seperti Superman dari planet Krypton, Thor berasal dari dunia bernama Asgard yang penghuninya memang memiliki kekuatan super, berbeda dengan manusia di Bumi. Seperti Superman, tugas suci Thor adalah melindungi dan memberi kedamaian di Bumi.

Namun, berbeda dengan Superman yang kisahnya seperti dipinjam dari mitologi kisah Sang Messiah atau Juru Selamat, Thor menambahinya dengan unsur tragedi drama Shakespearan. Kisah Thor pada intinya adalah drama tentang konflik kakak-beradik. Sang kakak, Thor hendak diberi tahta kerajaan, sedang sang adik, Loki yang licik dan culas ingin merebut tahta itu.

Sungguh tepat film pertama Thor dulu dibesut Kenneth Branagh, sutradara spesialis drama Shakespeare ke film. Branagh dianggap berhasil menyuguhkan drama Shakespeare ke dalam sebuah film superhero.

Lantas, di film Thor kedua, setelah kita semua melihat kedahsyatan Avengers tahun lalu, masih relevankah menyuguhkan drama tragedi ala Shakespeare?

Sineas Thor yang baru, Alan Taylor memilih tidak. Dan saya setuju pilihan kreatif yang dilakukannya. Saya bersyukur film Thor kedua tak lagi berfokus pada drama ala Shakespeare. Lewat film ini,Taylor malah menyuguhkan kisah epik ala hikayay The Lord of the Rings-nya JRR Tolkien.

Tengok saja, di awal film kita sudah disuguhi sebuah cerita legenda tentang unsur bernama Aether dan makhluk jahat bernama Malekith yang berambisi membawa seluruh semesta kembali pada masa kegelapan. Kakek Thor berhasil mengalahkan Malekith untuk sementara. Bagian ini membawa diri dejavu pada cerita awal trilogi The Lord of the Rings (LOTR) bikinan Peter Jackson. Ya, Aether tak ubahnya "one ring to rule them all" ala semesta Thor.

Meminjam unsur LOTR ke dalam Thor 2 ternyata berhasil. Setting semesta Thor memang cocok bagi kisah ala Thor.

Bahkan sebetulnya tak cuma LOTR yang terasa dejavu di film ini. Ketika kekasih Thor, Jane Foster (diperankan Natalie Portman) juga masuk ke dunia Thor dan didandani ala makhluk Asgard, saya jadi teringat pada sosok Ratu Amidala dari prekuel Star Wars (Portman berperan jadi Amidala di film tersebut). Begitu pula ketika ada pesawat-pesawat tempur kecil bersliweran berperang di udara, lagi-lagi saya teringat prekuel Star Wars.

Bagi saya, hal tersebut membuktikan semesta Thor sangat fleksibel dimanfaatkan sineasnya berkreasi. Asyiknya pula, meminjam unsur LOTR dan Star Wars tetap membuat kisahnya tetap masuk akal bagi penonton Thor. Hal senada tak bisa dilakukan LOTR atau The Hobbit misalnya dengan memasukkan unsur Star Wars.

***

Berikutnya adalah tentang kelanjutan konflik Thor (Chris Hemsworth) dengan Loki (Tom Hiddleston).

Alan Taylor, sang sutradara, juga sepenuhnya tak lupa, di balik kisah ala LOTR yang jadi penggerak utama plot, Thor sejatinya adalah kisah hubungan kakak-beradik.

Hemsworth tampil meyakinkan sebagai Thor yang perkasa dan sudah kian dewasa dibanding film terdahulu. Namun bukan Hemsworth yang mencuri layar di film Thor 2 ini, melainkan Hiddleston si Loki. Ia berhasil menghidupkan Loki yang menyebalkan. Bila di The Avengers dia terlihat seperti pecundang yang memanfaatlan kekacauan, di Thor 2 dia seperti kembali ditaruh pada porsinya yang tepat.

Loki tetapkah Loki yang menyebalkan dan mengidamkan tahta raja Asgard dengan dilema hidupnya: dibenci ayahnya, tapi amat disayang ibunya. Namun, film kedua ini memberi panggung bagi kita untuk mengetahui emosi terdalamnya. Kita, misalnya, dibuat terharu melihat Loki bersedih atas kematian ibunya. Atau ketika ia dan Thor akhirnya bekerjasama melawan Malekith.

Saya tak hendak bicara lebih jauh tentang Loki di Thor 2 demi tak mengungkap kejutan film ini. Yang hendak saya bilang, betapa Hiddleston teramat pas menghidupkan Loki. Bagi saya, dialah bintang Thor 2 ini, bukan Hemsworth, Anthony Hopkins (sebagai Odin, ayah Thor), apalagi Portman.

Hiddleston membawa peran Loki semenyebalkan Heath Ledger saat jadi Joker di The Dark Knight (2008), minus unsur nihilisme dan anarkistis. Maka, andai kelak DC Comics hendak menghidupkan lagi Joker sebagai musuh Batman atau di Justice League (Avengers ala semesta Disney, superhero DC: Superman, Batman, Wonder Woman, dkk bergabung dalam satu kisah), Hiddleston bisa dipertimbangkan memerankannya.

***

Pada akhirnya, menonton film superhero kini kian terasa seperti membaca komiknya.

Apa pula artinya itu?

Kita sekarang hidup di dunia saat para geek, sebutan bagi penggila komik, game, anime, dan film superhero/fantasi, dimanja suguhan yang mereka cintai. Kini kian terasa film superhero dari komik memanjakan pecinta komik aslinya. Film-film superhero seakan dibuat oleh para geek penggila kisah aslinya hingga tampak seperti surat cinta bagi kisah yang mereka cintai tersebut.

Kini bukan saatnya lagi film superhero berada di tangan sutradara nyentrik macam Tim Burton ketika mencipta ulang Batman di akhir tahun 1980-an silam. Today geek rules. Take it or leave it. ***

(ade/gur)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait