"The Hobbit: The Desolation of Smaug", Lebih Seru!

Ade Irwansyah | 16 Desember 2013 | 12:04 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - TRILOGI The Lord of the Rings yang dibuat Peter Jackson di dekade lalu kini rasanya sudah layak disebut klasik, karya yang tak lekang dimakan zaman.

Ditonton kapanpun, tiga film yang aslinya rilis 2001-2003 itu tetap menarik. Jackson, sutradara asli Selandia Baru itu dianggap berhasil menerjemahkan novel JRR Tolkien yang dulunya dianggap "unfilmable" alias tak mungkin difilmkan ke dalam bahasa gambar.

Di dekade ini, Jackson melakukan hal yang sebetulnya lebih sulit lagi ketimbang saat ia membuat The Lord of the Rings: mengangkat novel Tolkien yang lain, The Hobbit ke layar lebar. Kenapa dikatakan lebih sulit?

Tengok saja novelnya. Novel aslinya yang terbit 1937 hanya berjumlah tak sampai 350-an halaman. Tapi Jackson dan timnya sudah memutuskan membagi novel yang ketebalannya sedang-sedanng saja itu menjadi tiga film. Film pertama The Hobbit: An Unexpected Journey rilis tahun lalu; film kedua The Hobbit: The Desolation of Smaug rilis tahun ini; dan tahun depan film ketiga The Hobbit: There and Back Again direncanakan rilis.

Mengecek novelnya, film pertama memakan 130-an halaman. Film kedua melanjutkannya hingga halaman 260-an. Ini artinya, hanya tersisa kurang dari seratusan halaman lagi untuk film ketiga tahun depan.?

Lalu tengok pula isi novelnya. Bagi yang sudah membaca pasti tahu The Hobbit adalah bacaan ringan yang ditujukan bagi anak-anak dan remaja. Tolkien tak sedang mengisahkan kehidupan Dunia Tengah yang ruwet di novelnya yang itu. Petualangan Bilbo Bagins si Hobbit membantu Gandalf dan tiga belas Kurcaci mencari Smaug, naga yang jahat, sebetulnya adalah petualangan yang bersahaja dipenuhi lagu-lagu riang yang didendangkan para Kurcaci.

Film pertama sedikit banyak bersetia pada alur novelnya yang riang. Adegan para Kurcaci makan dengan lahap di rumah Bilbo (Martin Freeman) menerjemahkan keceriaan dalam novel dengan baik. Tapi ketika muncul di film adegan itu malah terasa berpanjang-panjang, melelahkan ditonton.

Jackson sepertinya juga belajar akan kelemahan film pertama. Bersetia pada keriangan di novel sepertinya bukan strategi yang baik. Kita sudah disuguhi trilogi The Lord of the Rings yang begitu ciamik. Maka, yang dilakukannya adalah menyajikan versi film dari The Hobbit sebagai prekuel dari The Lord of the Rings versi film.

Hal tersebut sebetulnya sudah dilakukan Jackson di film pertama. Di adegan awal film pertama kita melihat Frodo sebentar dan episode bagaimana Bilbo bertemu Gollum serta menemukan cincin ajaib yang jadi benda paling penting di The Lord of the Rings. Bagian Bilbo menemukan cincin ada di novel The Hobbit, tapi Frodo ditambahkan Jackson agar kisahnya punya kaitan.

Resep yang sama ia praktekan lagi di film kedua ini. Kini kian terasa kaitan antara The Hobbit dengan The Lord of the Rings. Ada bagian Gandalf (Ian McKellen) memisahkan diri dari rombongan Bilbo dan para Kurcaci untuk menyelidiki sebuah kecurigaannya.

Kecurigaan tersebut yakni Dunia Tengah yang dirasakannya tengah berubah. Pasukan Orc kian banyak. Dunia Tengah kian diselimuti kegelapan. Gandalf curiga Dunia Tengah sedang di ambang perang besar. Kekuatan jahat yang lebih gelap tengah bersiap. Kita tentu tahu yang dimaksud Gandalf ini menjadi awalan dari peperangan besar yang mengguncang Dunia Tengah di kisah The Lord of the Rings.

Memasukkan tokoh yang tak ada di novel aslinya juga kembali dilakukan Jackson di film kedua kali ini. Peri sakti Legolas (Orlando Bloom) yang hanya ada di kisah The Lord of the Ring menjadi tokoh penting di film kedua The Hobbit. Ketangguhannya memanah dan berduel melawan Orc membuat film kedua ini tak lagi jadi kisah anak-anak yang ringan, tapi sebuah petualangan seru penuh aksi seperti tiga film The Lord of the Rings yang kita saksikan dahulu.

Tak lupa Jackson juga menyelipkan cinta segi tiga antara Legolas dengan peri cantik nan tangguh Tauriel (Evangeline Lilly) serta seorang Kurcaci tampan Kili (Aldan Turner). Bagian ini juga tak ada di novelnya. Sungguh menarik bagaimana kisah cinta segitiga ini diakhiri di film The Hobbit ketiga karena kita tahu Legolas di trilogi The Lord of the Rings menemukan cinta sejatinya yang lain.

***

Nuansa genting menjelang perang besar sangat terasa di film kedua ini. Alih-alih memberi kesempatan para Kurcaci beryanyi lagi atau berdebat ngalor-ngidul seperti di novel, Jackson memberi mereka petualangan yang tak terlupakan: nyaris dibunuh Orc, dikejar raksasa beruang buas, dijerat laba-laba raksasa, naik tong di arus sungai penuh jeram yang deras, ditangkap manusia, hingga akhirnya bertemu sang naga Smaug.

Adegan-adegan itu ada di novelnya, tapi di filmnya dibuat lebih seru sebagai tontonan ketimbang memikat sebagai bacaan. Keseruan petualangan Hobbit dan 13 Kurcaci kali ini juga membuat fokus perhatian kembali tertuju pada kisah filmnya, bukan teknologi bagaimana filmnya disajikan. Anda tentu sudah tahu untuk memuat trilogi The Hobbit ini Jackson menggunakan kamera yang memungkinkan gambar ditangkap dalam format 3D dengan 48 frame per detik. Kali ini kita sedikit melupakan hal itu dan lebih fokus pada ceritanya yang nyaris tak memberi kita waktu bernafas.

Penonton sepatutnya sudah tahu film ini berakhir bersambung. Smaug terbang ke angkasa membiarkan Bilbo melihat keganasannya hendak membantai manusia. "Akan kuperlihatkan balas dendam kepadamu! Akulah api! akulah kematian!" kata sang naga sambil mengepakkan sayapnya terbang ke Kota Danau tempat manusia tinggal.?

Ketika layar mendadak gelap dan film berakhir kita tahu film ketiga bakal semakin seru dan kian melengkapi kisahnya sebagai sebuah hikayat modern di jagat sinema. Trilogi The Hobbit dan trilogi The Lord of the Rings kelak akan bersanding sebagai kisah klasik yang lengkap, akan ditonton terus oleh generasi-generasi berikutnya selayaknya karya klasik yang tak lekang dimakan zaman.***?

(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait