Mengenang Bujang Pratiko, Mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Bintang dan Tabloid Artis

Suyanto Soemohardjo | 31 Maret 2021 | 12:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Tak ada Bujang Pratiko, Tabloid Bintang Indonesia enggak akan terbit. Kesaksian ini disampaikan Ricke Senduk, yang pada awal 90-an mendapat investor baru untuk menerbitkan Tabloid Bintang tak lama setelah Tabloid Monitor tempatnya bekerja ditutup. Bersama 4 teman lain: Gunawan Wibisono, Erwin Arnada, Bujang Pratiko dan Djoko Supriadi, satu hari digelar pertemuan sebagai bagian persiapan penerbitan Tabloid Bintang. Ricke Senduk sebagai orang yang pertama kali melakukan kontak dengan investor, ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Tapi dia menolak. Rapat pun buntu. Tak ada pemimpin redaksi, tak ada tabloid bisa diterbitkan. Dalam kebuntuan itulah Bujang Praktiko mengacungkan tangan dan menyatakan diri siap menjadi pemimpin redaksi. Jadilah Tabloid Bintang terbit pada awal Maret 1991 dengan Bujang Praktiko sebagai pemimpin redaksi. Di boks redaksi memang tertulis sebagai wapemred, tapi dalam praktik sehari-hari dia bertindak sebagai pemimpin redaksi. Saat itu zaman ketika mengurus SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tidak mudah, sama tak mudahnya mengganti nama pemimpin redaksi. 

Pemberani, teguh memegang prinsip dan karena itu kadang terkesan sebagai sosok yang keras, itulah Bujang Pratiko. Pria kelahiran Banyuwangi, 3 Juni 1960 ini tak mau kompromi pada hal-hal yang tak sesuai prinsip dan kesepakatan awal. Dia siap dengan segala risiko agar Bintang bisa terbit sesuai jadwal. Sayang Bujang Pratiko tak lama menjadi pemimpin redaksi Bintang. Masalah yang biasa terjadi di hampir semua penerbitan di masa-masa awal, berkembang menjadi konflik internal. Bujang Pratiko lalu memutuskan keluar, meninggalkan Tabloid Bintang yang ikut dia bangun dengan perjuangan dan pengorbanan.

Terus lo mau ngapain, Jang? Saya bertanya ketika bertemu beberapa saat setelah Bujang keluar dari Bintang. "Memang kenapa, lo khawatir gua nggak bisa makan. Rezeki nggak akan ketuker," jawab Bujang santai, bahkan terkesan cuek seperti tak ada masalah. Ketika itu Bujang sudah memutuskan benar-benar meninggalkan dunia media. Dia lalu terjun ke bisnis rumah produksi yang menggarap acara untuk TVRI. Kadang juga menyewakan alat-alat produksi. Dalam beberapa pertemuan berikutnya, Bujang banyak bercerita tentang usaha yang ditekuni, seperti agen pulsa elektrik juga agen gas.

Tapi tampaknya Bujang Praktikto tak benar-benar bisa meninggalkan dunia media. Awal tahun 2000 dia memutuskan membuat media sekaligus jadi pemodalnya. Satu langkah berani dan penuh risiko. Selain perlu modal cukup besar, membangun bisnis media juga tak mudah. "Gila lo Jang?" kata saya dengan takjub ketika menemui di kantornya di kawasan Tebet Jakarta Selatan. "Bisnis yang lain kan buat cari uang. Kalau yang ini (bikin tabloid), bedalah," jawabnya. Bujang benar-benar menerbitkan tabloid dengan uangnya sendiri. Namanya Tabloid Artis. Dia berencana tabloidnya akan terbit harian, seperti koran. Hampir semua tabloid hiburan terbit mingguan. Tabloid gosip terbit harian? Usai menemuinya lagi di kantornya, pulangnya saya membawa beberapa eksemplar Tabloid Artis dan memperlihatkan pada Mas Arswendo Atmowiloto. Seperti saya, Mas Wendo pun takjub dan salut pada keberanian, kepercayaan diri juga gagasan Bujang. Mas Wendo bahkan mengatakan, kalau didukung tim yang tepat tabloid milik Bujang akan punya masa depan. Saya tak tahu apa masalahnya, tapi Tabloid Artis milik Bujang Pratiko akhirnya berhenti terbit.

Saya mengenal Bujang Pratiko saat bekerja di Tabloid Monitor. Sama-sama bujangan, kami sering menghabiskan waktu bersama dengan ngobrol dan begadang. Kami punya satu tema obrolan menarik: puisi dan kebudayaan. Walau bukan penyair juga bukan pengamat, rasanya gaya sekali kalau mengobrolkan tema ini. "Kapan-kapan lo mesti ketemu bokap gua, lo bakalan cocok ngobrol sama dia," kata Bujang satu kali. Belakangan baru saya tahu ayah Bujang ternyata seorang budayawan dan sastrawan yang sangat populer di Banyuwangi. Namanya Hasnan Singodimayan. Pria ini sering jadi rujukan media saat membahas kebudayaan atau sastra Banyuwangi.

Tahun 80-an akhir saat Bujang Praktiko menikah dengan Suhartini, biasa dipanggil Titin, saya ikut menemani. Titin adalah putri sutradara film Nawi Ismail. Salah satu karyanya yang populer film Si Pitung. Beberapa aktor dan aktris senior tampak menghadiri pernikahan Bujang-Titin yang digelar di rumah mempelai wanita. Sebelum menikah, Bujang mengaku sempat memacari beberapa wanita lain, termasuk seorang artis pendatang baru. Setahu saya dia bukan tipe pria banyak omong atau senang mengumbar rayuan. Bagaimana strategi dia mendekati cewek?  "Langsung gua cium aja. Kan kemungkinannya cuma dua, dia mau atau gua ditampar," kata Bujang, lagi-lagi dengan cueknya. Tapi cinta Bujang pada Titin tak tergantikan. Cinta dan kesetiaan Bujang diuji ketika Titin sakit. "Dia suami yang luar biasa. Kalau mau bisa saja kawin lagi. Tapi dia memilih merawat dan mengurus istrinya yang sakit," cerita Ricke Senduk. "Dia memandikan istrinya dan nyebokin, dan itu lama. Pokoknya sejauh dia bisa ngurus, dia urus sendiri istrinya. Saya benar-benar salut sama dia," kata Ricke lagi. Ketika Titin meninggal pada awal 2018 setelah lama berjuang melawan sakit, Bujang sangat terpukul. Tapi ketika saya datang ke rumah duka, dia sama sekali tak bercerita tentang kesedihannya. Tapi dari raut wajahnya saya tahu dia sangat kehilangan. Bujang memang tak pernah mau membebani orang lain dengan masalahnya.

Sekitar dua bulan lalu dari grup WA alumni tabloid Monitor, saya mendapat kabar Bujang Pratiko sakit. Selama ini kami rutin berkomunikasi lewat WA, telepon dan sesekali janjian ketemu, tapi saya sama sekali tak tahu dia sakit. Saat saya hubungi, dia sedikit bercerita tentang sakitnya dan minta didoakan. Setelah itu saya sering menyapa menanyakan kabar. Rabu malam tanggal 24 Maret dia kirim WA menanyakan apakah rumah saya dekat dengan RS Siloam di TB Simatupang. Saya jawab, tidak terlalu jauh, bagaimana Jang? WA saya hanya dibaca tapi tidak dibalas. Besoknya saya kembali kirim WA menanyakan kondisinya. WA hanya dibaca tapi tidak dibalas. Saya benar-benar tidak menyangka ternyata itu hari-hari terakhir Bujang Pratiko. Senin siang, 29 Maret ada WA dari HP Bujang, mengabarkan bahwa Bujang Pratiko telah meninggal dunia pada Kamis 25 Maret di RS Siloam. Seketika saya loncat dari tempat duduk dan langsung menghubungi nomer teleponnya. Seorang wanita yang mengangkat membenarkan kabar duka itu. "Tapi mohon maaf Mas, pesan beliau (almarhum Bujang), tidak ingin beritanya disebar, apalagi dijadikan status di medsos." Seperti semasa hidup, saat meninggal pun Bujang Pratiko tidak ingin merepotkan siapapun. Dia tahu teman-teman pasti akan banyak yang datang kalau mendengar kabar kepergiannya. Memenuhi pesan almarhum, saya dan beberapa teman yang tahu sama sekali tak menuliskan kabar duka kepergian Bujang Pratiko di medsos. Sebelum menulis artikel ini saya juga sudah meminta izin pada istrinya yang lalu meneruskan pada keluarganya.

Ketika esoknya datang ke rumah duka, saya ditemui seorang wanita yang menemani saat-saat terakhir Bujang. Setelah istrinya meninggal, saat ngopi bareng, Bujang sempat mengatakan tak ingin menikah lagi. Dia berencana pulang kampung, karena ada tawaran bisnis menarik di sana. Tapi beberapa bulan kemudian, Bujang memajang foto berdua seorang wanita di PP di WA-nya. Siapa tuh, bini baru, saya bertanya lewat WA. Dia mengiyakan dan menulis sudah meresmikan hubungan dengan wanita bernama Nur Cahaya itu secara agama. "Mas Bujang mulai sakit sekitar 5 bulan lalu. Sempat operasi, terus harus terapi. Belum selesai terapinya. Kemarin (sebelum meninggal) hanya beberapa hari dirawat di rumah sakit," kata Nur Cahaya.

Hari ini saya benar-benar merindukan Bujang Pratiko. Saya rindu menuliskan namanya di WA, "Bujaaaaaaannggg" dan lalu dia membalas dengan kalimat aneh dan lucu. Saya juga rindu dia menyapa saya dengan kalimat begini: Kok lo jelek sih sekarang? Memang dulu gua ganteng Jang, jawab saya. Enggak juga, jelek juga. Dan kami pun tertawa. Bertahun-tahun berteman, kami saling tahu karakter masing-masing. Selamat jalan, Bujang, damailnya di sisiNya.

Penulis : Suyanto Soemohardjo
Editor: Suyanto Soemohardjo
Berita Terkait