Tabloid Hiburan dan Akhir Sebuah Era

Suyanto Soemohardjo | 22 April 2019 | 12:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Setiap era akan melewati masa pasang surut sebelum benar-benar berakhir. End of an era. Media cetak yang pernah mengalami masa kejayaan, sekarang berada dalam senja kala. Raksasa media di masa lalu rontok satu per satu. Benarkah era media cetak sudah berakhir? 

Pada masanya tabloid hiburan seperti Bintang Indonesia punya peran penting, bahkan satu-satunya medium yang bisa menghubungkan praktisi industri hiburan, terutama artis, dengan penggemar. Generasi ‘70 sampai ‘90-an pasti pernah mengalami masa-masa menunggu media cetak langganan demi bisa membaca berita dan melihat foto artis idola. Ketika itu tak ada cara lain mendapatkan informasi artis idola selain dari media cetak. 

Masa itu media cetak kadang menyertakan alamat kontak artis. Penggemar pun bisa berkirim surat, dengan menyertakan amplop yang sudah ditempeli perangko balasan. Kalau beruntung, surat dibalas disertai foto si artis untuk disimpan di dompet atau dipajang di kamar. Semua itu hanya bisa dinikmati generasi masa itu. Generasi sekarang tak perlu berkirim surat kalau sekadar ingin memiliki foto artis. Tak juga perlu menunggu tabloid langganan datang untuk tahu gosip terbaru.

Era media cetak hiburan menjadi satu-satunya media yang bisa menghubungkan artis dan penggemar sudah lama berakhir. Sekarang penggemar dan artis punya banyak cara yang bisa dipakai untuk berinteraksi, secarang langsung, dan bukan lagi satu arah. Sumber yang bisa diakses penggemar juga makin banyak, beragam, mudah, dan gratis, tak perlu membeli seperti media cetak.

Setiap kali ada teknologi baru yang menawarkan cara baru, yang lebih mudah, praktis dan efesien, cara lama akan ditinggalkan. Ini keniscayaan. Kereta kuda digantingkan mobil, pager digantikan ponsel, dan seterusnya. Hanya dengan membuka ponsel, kapan pun di mana pun, segala macam berita dan gosip bisa didapatkan dengan gratis, lalu kenapa orang membeli tabloid hiburan yang terbit secara berkala? 

Saat kecemasan soal migrasi pembaca ke media daring mulai terjadi, banyak pakar yang mencoba membuat rumusan baru agar media cetak tetap relevan dengan zamannya. Tapi sejauh ini, tak hanya di Indonesia tapi dunia, belum ditemukan formula baru yang manjur menjaga eksistensi media cetak. 

Kadang tak selalu teknologi baru melenyapkan teknologi lama. Saat TV ditemukan dan hampir setiap rumah punya TV, banyak yang meramal radio akan mati. Sekarang memang tak banyak rumah memiliki radio, tapi mendengarkan radio bukan lagi aktivitas yang dilakukan di rumah, melainkan di mobil. Kini tak ada mobil yang tak dilengkapi radio. Radio salah satu contoh kisah kesintasan yang inspiratif. Radio mengisi celah sebagai sumber informasi dan hiburan yang tak bisa dilakukan TV. Bahkan di era digital radio tak kehilangan eksistensi.

Dalam pengertian perpindahan pembaca, kini media cetak sudah digantikan media daring. Tanpa pembaca tak ada media cetak yang bisa sintas. Namun benarkah media daring masa depan bagi perusahaan media? Masih harus dibuktikan. Mungkin masih menunggu sampai terjadi titik keseimbangan. Sementara ini pindah ke versi daring satu-satunya alternatif yang tersedia bagi pengelola media cetak.

Akankah Tabloid Bintang Indonesia dan media cetak lain akan menemukan momentum seperti radio? Atau bernasib seperti kereta kuda, tak benar-benar lenyap tapi berubah fungsi bukan lagi sarana tranportasi? Ataukah end of the print media era sudah menjadi kenyataan yang tak bisa lagi dihindari? Saat perubahan terjadi, itulah saatnya menyesuaikan diri. Dan, jika perubahan yang terjadi drastis dan selamanya, walau menyakitkan, pilihan tetap harus dibuat. Apa pun yang terjadi, dalam bisnis dan dunia sekitar kita, kita tetap punya pilihan juga harapan. Salam.

Penulis : Suyanto Soemohardjo
Editor: Suyanto Soemohardjo
Berita Terkait