"The Hunger Games: Catching Fire", Lebih Asyik dari Film Pertama (Sungguh!!)

Administrator | 21 November 2013 | 10:44 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - SEBELUM yang lain-lain. Pertama pesan sponsor dahulu. Saya menonton film ini, The Hunger Games: Catching Fire, Selasa (20/11) malam di bioskop XXI mal Epicentrum, Jakarta, dengan fasilitas tata suara baru, Dolby Atmos.

Suaranya tak sekadar menggelegar, tapi seperti mengungkung kita. Pengalaman nonton yang asyik.

Kedua, saya nonton filmnya sampai credit title habis. Saya membiasakan diri untuk melakukan hal ini--terutama bagi film-film bertema fantasi atau fiksi ilmiah--agar tak ketinggalan jika sineasnya iseng menempatkan adegan ba'da credit title.

Rupanya sineas Catching Fire tak seiseng orang-orang di Marvel Studio. Tak ada adegan tambahan hingga film betul-betul usai. Tapi penantian saya tak sia-sia. Sebagai orang Indonesia, saya bangga ketika jelang akhir credit title ada keterangan "wedding gown by Tex Saverio".

Sekarang soal filmnya.

Seperti Anda sudah mafhum, Catching Fire adalah film lanjutan. Kisahnya melanjutkan film sebelumnya, The Hunger Games (2011). Baik The Hunger Games dan Catching Fire diangkat dari trilogi novel karya Suzanne Collins. Masih ada satu novel lagi dari kisah ini, Mockingjay yang belum difilmkan.

Sebagai kisah lanjutan filmnya tak berpayah-payah menjelaskan cerita sebelumnya. Sineasnya menganggap penonton sudah tahu kisah terdahulu. Film dimulai dengan pemenang permainan "Hunger Games" ke-74, Katniss Everdeen (Jenifer Lawrance) dan Peeta Mallark (Josh Hutcherson) kembali ke kampung halaman mereka, Distrik 12. Sebagai pemenang, keduanya diharuskan melakukan Tur Kemenangan di berbagai distrik di negeri Panem.

Katniss dan Peeta menjadi pemenang dari permainan duel hidup dan mati melawan remaja-remaja terpilih dari 11 distrik lain yang ditayangkan bak sebuah reality show ke seluruh negeri lewat TV. Pasca menang "Hunger Games", Katniss telah jadi tumpuan harapan bagi seluruh negeri bahwa pemerintahan fasis di Panem mungkin bisa diruntuhkan.

Menonton Catching Fire, bagi saya terasa filmnya seperti terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama filmnya adalah permainan intrik politik dan pencitraan. Pemerintahan fasis Panem yang dipimpin Presiden Snow (Donald Sutherland) ingin mempertahankan kekuasaan sambil terpaksa mengikuti tingkah Katniss dan Peeta yang dicintai seluruh negeri. Bagi kaum terjajah, mereka adalah simbol harapan. Bagi warga Capitol, mereka adalah tontonan populer yang mengharu biru. "The power of hope"--betapa kuatnya sebuah harapan.

the power of hope"--betapa kuatnya sebuah harapan.

Kompetisi "Quarter Quell" trik memberangus harapan itu. Sekali lagi kita melihat jagoan kita harus berjuang dan berduel demi bertahan hidup. Sutradara Lawrence masih setia filmnya tak memperlihatkan banyak darah muncrat atau momen-momen kematian agar teap dapat klasifikasi "PG-13". Namun, kepada penonton Lawrence tetap bisa membuktikan walau tanpa darah, keseruan sebuah kisah aksi tak harus dikorbankan. Pertarungan melawan babon atau dikejar awan panas yang membuat kulit melepuh berhasil menerbitkan kengerian pada penonton.

Lawrence juga tak luput mengaduk-aduk emosi penonton dengan kisah cinta segi tiga Katniss-Peeta-Gale (Liam Hemsworth). Kita melihat Katniss berpindah-pindah dipeluk atau memeluk dan mencium dua pria itu. Di film pertama kita tahu Katniss cuma bersandiwara demi bertahan hidup. Di film kedua, sandiwara itu tak cuma berlanjut melainkan menjadi sebuah hubungan yang kompleks. Bagi yang hanya menonton filmnya tanpa pernah membaca ketiga novelnya, akan sulit menebak pada siapa sebetulnya Katniss menjatuhkan pilihan hatinya.

***

Catching Fire berakhir menggantung karena ia memang bagian kedua dari sebuah trilogi.

Tatapan penuh amarah Katniss menutup layar seolah menjanjikan kisah berikutnya akan menjadi klimaks yang seru, baik bagi sebuah kritik atas budaya reality show, kemenangan harapan, dan ah, jawaban atas kisah cinta segitiganya.

***

(ade/ade)

Penulis : Administrator
Editor : Administrator