Obesitas pada Balita adalah Awal dari Bencana

Redaksi | 14 September 2019 | 02:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Balita tidak perlu diet. Ungkapan itu benar adanya. Namun bukan berarti Anda bebas membiarkan si kecil melahap apa saja, mengingat obesitas pada balita adalah awal dari bencana. Menurut dr. Klara Yuliarti SpA(K), ada dua jenis obesitas yang mengintai anak-anak yakni obesitas endogen dan idiopatik.

Sindrom Prader-Willi

Ciri-ciri obesitas endogen meliputi perawakan si kecil yang pendek (lebih pendek daripada anak-anak seusianya), fungsi mentalnya mengalami retardasi, usia tulang terlambat, terjadi di lingkungan keluarga yang tidak memiliki riwayat obesitas, dan jumlah kasusnya hanya 10 persen dari total kasus kegemukan pada anak-anak. Meski demikian, obesitas tipe ini memicu sejumlah penyakit berbahaya. Di antaranya, sindrom Prader-Willi.

“Sindrom ini membuat si kecil mengalami gagal tumbuh. Badannya lemah sekali karena hipotoni (otot lemas sehingga tidak mampu mengimbangi laju tumbuh kembang anak). Saking lemasnya, sampai tidak bisa berdiri apalagi berjalan,” ujar Klara.

Anehnya memasuki usia setahun, anak dengan sindrom Prader-Willi mengalami hiperfagia yakni kelainan metabolisme berupa tingginya ritme rasa lapar yang harus dipuaskan dengan makan. Akibatnya, berat badan tidak terkendali. Sayangnya, asupan makanan yang melimpah tidak disertai dengan menguatnya jaringan otot di seluruh tubuh.

“Saya pernah menangani kasus semacam ini. Meski si kecil makannya banyak, ia tetap tidak bisa berjalan bahkan sampai usia 4 tahun. Anak itu hanya bisa berdiri sebentar lalu duduk lagi,” urai Klara. Kelainan ini semestinya bisa dideteksi lebih dini. Peran ibu sangat penting untuk mencermati tumbuh kembang buah hati. “Ibu harus ingat, di usia 6 bulan anak semestinya sudah bisa duduk. Usia 9 bulan, belajar berdiri dan melangkah. Usia 1 tahun sampai 18 bulan, mulai berjalan. Kalau salah satu dari fase ini tidak tercapai, ibu harus waspada,” ia menukas.

Sebaliknya, jumlah kasus obesitas idiopatik mencapai 90 persen. Penyakit ini terjadi pada anak dengan postur normal dari keluarga yang memiliki riwayat obesitas. Usia tulang dan fungsi mentalnya pun normal. Bukan berarti orang tua bisa menarik napas lega. Klara mengatakan, salah kaprah yang kerap terjadi dalam kasus ini adalah, orang tua menganggap anak mereka yang sangat gemuk itu sehat, lucu, dan menggemaskan.

Kaki Bengkok

“Apalagi bila keluarga memiliki riwayat kegemukan. Saat anak memiliki berat badan ideal, malah dianggap tidak normal. Orang tua kemudian membandingkan tubuh si kecil dengan tubuh mereka waktu balita dulu. Saya menemukan kasus, anak dengan obesitas idiopatik mengalami kaki bengkok atau Blount's disease. Kaki bengkok terjadi karena kaki menyangga bobot yang berlebihan. Anak ini berusia 6 tahun, berat badannya 42 kg,” Klara mengingat.

Dampak kaki bengkok bisa permanen. Meski si kecil diet hingga berat badannya ideal, tidak serta-merta membuat kaki yang bengkok menjadi lurus. Biasanya, dokter merekomendasikan anak itu menjalani operasi dan pemasangan pen. Berkaca kepada dampaknya yang mengerikan, Klara menerangkan obesitas dipengaruhi banyak faktor. Selain gen, faktor lingkungan dalam hal ini makanan berperan sangat besar.

Mengonsumsi camilan boleh, tapi kadar gulanya harus diperhatikan. “Saya menyarankan anak mengonsumsi 2 jenis minuman saja sampai ia beranjak remaja: air putih dan susu. Satu botol minuman dalam kemasan itu gulanya bisa 30 gram. Ya kalau minumnya hanya sebotol sehari, kalau lebih dari dua? Camilan jangan tinggi lemak, gula, dan garam. Kalau bobot anak Anda mendekati ambang batas kegemukan, setop snacking. Kalau ngotot snacking, harus buah,” tegas dia.

Jika anak Anda kegemukan, lemak yang menumpuk harus dibakar dengan aktivitas fisik dan diet. “Diet anak berusia di bawah 12 tahun tidak boleh memakai obat-obatan sama sekali apalagi operasi, kecuali pada kasus ekstrem. Misalnya, anak yang bobotnya sampai 190 kg. Dokter tentu punya pertimbangan lain. Diet anak tidak bisa disamakan dengan diet orang dewasa, di mana porsi makan dipangkas hingga 50 persen atau menjalani semi puasa,” pungkas Klara.

 

Penulis : Redaksi
Editor: Redaksi
Berita Terkait