Tragedi Bintaro: Kecelakaan Kereta Api Terburuk, 30 Tahun Lalu

TEMPO | 19 Oktober 2018 | 19:50 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Tabrakan dua kereta api terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia terjadi di rel kereta api di sebelah utara SMU Negeri 86 Bintaro. Peristiwa 19 Oktober 1987 yang disebut Tragedi Bintaro itu menewaskan 153 orang dan 300 orang lain luka-luka.

Rel kereta api dari Stasiun Tanah Abang hingga Stasiun Rangkasbitung saat itu masih satu jalur, sehingga kereta api harus bergantian melintasnya. Antara Stasiun Kebayoran dengan Stasiun Sudimara yang jaraknya 10 kilometer, ketika itu belum ada Stasiun Pondok Ranji dan Stasiun Jurangmangu.

Kereta api yang tabrakan pada Senin pagi, 19 Oktober 1987 itu adalah kereta api ekonomi patas KA 220  jurusan Tanah Abang – Merak, dan kereta api ekonomi cepat KA 225 jurusan Rangkasbitung – Tanah Abang.

Majalah Tempo terbitan 31 Oktober 1987, mengutip penjelaskan Kadispen Humas Laksusda Jaya Letkol Sumekar K.W. Sumekar menjelaskan, dari hasil pemeriksaan belum ditemukan latar belakang politik di balik musibah ini. Kecelakaan tersebut, katanya, akibat kelalaian petugas PJKA.

Begini kronologi Tragedi Bintaro:

Kereta api KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang pukul 05.05 berangkat dari Rangkasbitung. Seperti biasa, penumpang berada di atap gerbong dan berdempetan di dalam lokomotif. Pukul 06.50, kereta tiba di Stasiun Sudimara. Selama lima menit, kereta berhenti di Stasiun Sudimara untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.

Petugas Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) meniupkan pluit atau semboyan 46. Artinya, KA 225 dengan masinis Slamet Suradio harus melakukan langsir. Waktu itu, KA 225 berada di lintasan tiga dan jalur itu akan dilewati kereta KA 220 yang datang dari Kebayoran Lama pukul 06.46. Petugas mengarahkan KA 225 dipindahkan ke lintasan satu, sedangkan di lintasan dua ada kereta api pengangkut semen milik PT Indocement dari Cibinong.

Tapi, di luar dugaan, pukul 06.55, masinis KA 225 bukanya membawa kereta langsir justru membawa kereta terus bergerak meninggalkan Stasiun Sudimara.  

Petugas PPKA, Jamhari, berusaha menghentikan kereta. Ia berlari sambil meniupkan pluit memanggil masinis KA 225. Jamhari juga mengibas-ngibaskan bendera merah, yang artinya menyuruh kereta berhenti. Tapi kereta terus melaju, bahkan penumpang yang berada di atap malah menyoraki Jamhari sambil tertawa-tawa.

Delapan kilometer setelah KA 225 meninggalkan Stasiun Sudimara atau sekitar 10 menit di kilometer 17, KA 225 menabrak KA 220 yang sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama.

Masinis KA 225 Slamet Suradio mengaku baru melihat KA 220 sekitar 30 meter sebelum tabrakan, dan tidak sempat mengerem. Waktu itu, KA 225 melaju dengan kecepatan 45 kilometer/jam, sedangkan lawannya, KA 220, bergerak cuma dengan kecepatan 25 kilometer/jam. Tabrakan kereta itu mengakibatkan 153 orang tewas dan 3000 orang luka-luka.

Slamet Suradio merasa telah menerima perintah erangkat dari Stasiun Sudimara karena KA 220 datang terlambat. Dia menduga akan bersilang dengan kereta api itu di Stasiun Kebayoran Lama. Tampaknya, Slamet begitu yakin bahwa perintah yang diterimanya itu bukanlah untuk langsir, katanya, "'Kan semboyannya berbeda."

Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Nasib serupa menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan akibat Tragedi Bintaro itu.


TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor : TEMPO