Balas Dendam Bisa Menghilangkan Sakit Hati, Benarkah?

Agestia Jatilarasati | 22 Juli 2017 | 07:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pernahkah Anda sakit hati akibat perbuatan orang lain? Saat itu terjadi, apakah terlintas di benak Anda untuk membalas dendam atau jangan-jangan Anda sudah melakukannya?

Manusia mahluk yang tidak sempurna. Wajar, jika perasaan ingin balas dendam atas perbuatan yang dirasa tidak menyenangkan itu muncul.

Jika memilih untuk balas dendam, apakah endapan rasa benci dan frustrasi di hati bisa hilang seluruhnya?

Beberapa hari lalu, dunia maya dihebohkan dengan pemberitaan tentang pesanan makanan fiktif via ojek daring atas nama Julianto Sudrajat.

Setelah ditelusuri, ternyata Julianto hanya korban dari seseorang berinisial A. Perempuan ini menggunakan nama Julianto untuk memesan makanan dengan jumlah tagihan yang tidak sedikit.

Diduga, pelaku beraksi dengan motif sakit hati lantaran Julianto menolak cintanya. Julianto rupanya bukan satu-satunya korban.

Ahmad Maulana alias Dafi pernah “diserbu” kiriman makanan yang dipesan via ojek daring. Padahal, Dafi tidak memesan. Diduga, pelaku orang yang sama mengingat Dafi mengenal A, yang memesan makanan atas nama Julianto. Apakah ini bisa dikategorikan balas dendam? 

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, balas dendam berarti perbuatan membalas perbuatan orang lain karena sakit hati atau dengki.

Psikolog dari Pusat Informasi dan Rumah Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan berpendapat bahwa dari sisi psikologi, balas dendam tak hanya disebabkan dengki dan sakit hati, tapi juga adanya perasaan tidak adil yang diterima. Ini berhubungan dengan rusaknya kepercayaan. Hancurnya kepercayaan seseorang memicu sakit hati dan keinginan untuk balik menyakiti agar situasinya (dinilai) menjadi adil bagi kedua belah pihak.

“Dalam kasus pesanan makanan fiktif via ojek daring, terduga pelaku yang mengenal kedua korban terpicu untuk melancarkan balas dendam karena merasa tersakiti. Dengan harapan, rasa kecewa dan sakit hati berkurang. Namun, setiap perbuatan akan ada konsekuensinya. Balas dendam pun demikian. Seringkali, orang yang terdorong emosi menjadi kurang efektif dalam menilai situasi secara rasional, termasuk menilai akibat jangka panjang dari perbuatan balas dendam dan dampak yang ditimbulkan,” Anna menjelaskan.

 

(ages / gur)

 

Penulis : Agestia Jatilarasati
Editor: Agestia Jatilarasati
Berita Terkait