Yusril Ihza Mahendra Menanggapi Surat Terbuka Adik Ahok

TEMPO | 4 April 2018 | 07:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Yusril Ihza Mahendra menanggapi surat terbuka yang dibuat adik mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Harry Basuki Tjahaja Purnama.

Yusril Ihza Mahendra  menyatakan dengan kerendahan hati akan meminta maaf jika dalam pidatonya di Medan ada yang keliru karena menyatakan Ahok tidak bisa menjadi calon presiden.

"Namun, yang menjadi pertanyaan saya: adakah sesuatu yang salah dan keliru dalam pidato saya di Medan itu?" tanya Yusril Ihza Mahendra dalam pernyataan tertulisnya, Selasa 3 April 2018.

Dia menambahkan, "saya justru tidak membaca adanya bantahan, sanggahan atau koreksi dalam surat terbuka adik Ahok, Harry Basuki Tjahaja Purnama itu."

Menurut Yusril Ihza Mahendra, ceramahnya di Medan itu berkaitan dengan draf penyusunan UUD 45 terkait syariat Islam dan syarat menjadi presiden yang semula disepakati, yakni orang Indonesia asli dan beragama Islam.

Kesepakatan tentang syariat Islam dihapuskan setelah melalui pembahasan, dan syarat presiden  harus beragama Islam ini kemudian turut hilang dengan disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. "Yang tersisa adalah orang Indonesia asli," ujarnya.

Namun, syarat orang Indonesia asli akhirnya hilang juga dengan amandemem UUD 45 pada tahun 2003. Rumusan Pasal 6 ayat 1 UUD 45 yang baru menyatakan bahwa “Presiden adalah warga negara sejak kelahirannya dan tidak pernah memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.”

Dalam konteks tersebut, Yusril Ihza Mahendra Yusril memberi contoh tentang Ahok yang pernah menyatakan niatnya menjadi presiden.  Menurut UUD 45, katanya, Ahok tidak bisa menjadi presiden karema tidak memenuhi syarat, sebab tidak terlahir sebagai warga negara Indonesia.

“Mengapa Ahok tidak terlahir sebagai WNI? Jawabannya sederhana karena ayah Ahok, Tjung Kim Nam adalah warganegara Tiongkok. Sebelumnya beliau mempunyai dwi kewarganegaraan," tuturnya.

Yusril Ihza Mahendra Yusril menjelaskan sesuai UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, status dwi kewarganegaraan harus diakhiri dengan cara memilih salah satu kewarganegaraan.  Ayah Ahok mesti memilih menjadi warga negara Indonesia atau Tiongkok.

Menurut dia, kesepakatan pengakhiran status dwi kewarganegaraan itu dicapai dan dirumuskan dalam persetujuan Soenario-Tjou En Lai, antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menlu Republik Rakyat Tiongkok.

Atas dasar itu, orang Cina di Indonesia pada tahun 1962 diminta memilih kewarganegaraan. Ayah Ahok Tjung Kim Nam memilih warganegara RRT. "Ahok lahir 1966, maka Ahok otomatis ikut warganegara ayahnya, RRT."

Pada tahun 1986, ayahnya dinaturalisasi, maka Ahok otomatis menjadi WNI. Saat itu, Ahok berusia 20 tahun.  Nama Ahok ada dalam Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia Tjung Kim Nam yang telah dinaturalisasi tahun 1986 itu.

Jadi, kata Yusril Ihza Mahendra, ketika mencontohkan Ahok dalam kasus kewarganegaraanya, mau tidak mau Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut, harus menjelaskannya secara kronologis. Sehingga menyebut nama ayah Ahok, mendiang Tjung Kim Nam tidak dapat dihindari.

“Hal ini semata-semata saya kemukakan sebagai contoh karena Ahok pernah menyatakan kepada publik, keinginannya untuk menjadi Presiden RI. Dengan penjelasan kronologis itu, Ahok praktis tidak memenuhi syarat menjadi Presiden RI sebagaimana diatur Pasal 6 ayat 1 UUD 45."

Berikut ini isi surat Harry Basuki yang ditulis di Jakarta, 1 April 2018:

Surat terbuka buat Bang Yusril.
Ngimana abang kabarnya ikam.

Saya baru pulang dari Belitung, dari makam bapak saya. Hari ini bertepatan dengan hari raya Paskah.

Saya cukup terkejut dengan berita pernyataan Bang Yusril mengenai Bapak saya di acara Islamic di Medan.

Pertama, saya tidak mengerti, kenapa nama bapak saya dibawa-bawa di acara tersebut.  Dikatakan bahwa bapak saya memilih menjadi WNA dan kami menjadi warga negara Indonesia tahun 1986.

Kalau ini urusannya dengan Ko Ahok, itu urusan Bang Yusril dengan Ko Ahok. Saya sendiri berhubungan baik dengan adik Bang Yusril. Tapi kalau menyangkut bapak saya, maaf ini menyangkut saya.

Kedua, saya berpikir bagaimana bapak saya yang memiliki nasionalisme tinggi, (lebih) memilih (menjadi) warga negara asing dan baru menjadi WNI sekitar tahun 1986? Padahal bapak saya selalu mengajarkan nilai-nilai nasionalisme dan kami semua sekolah di SD Negeri 3 Gantung.

Yang ketiga, bagaimana Bang Yusril tahu kalau bapak saya lebih memilih WNA, sedangkan umur Bang Yusril saja masih muda? Apa bapak saya bilang ke abang, keluarga abang atau hanya kesimpulan abang saja? Saya tidak tahu sulit atau tidaknya mengurus (menjadi) WNI waktu itu.

Bapak saya lahir di desa air tangga / simpang pesak, Belitung Timur. Beliau meninggalkan nama baik dan selalu dikenang membantu masyarakat yang membutuhkan. Begitulah almarhum bapak saya.

Yang terakhir, tentu saya ingin tahu dan melihat akte kelahiran saya. Di situ jelas tertulis bahwa saya lahir sebagai Warga Negara Indonesia. Apakah bisa (kalau) bapak saya WNA tapi anaknya lahir sudah WNI ?

Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin meluruskan bahwa bapak saya almarhum bernama : INDRA TJAHAJA PURNAMA. Silahkan lihat di akte kelahiran saya. Dan bapak saya adalah Warga Negara Indonesia yang sangat-sangat cinta tanah air.

Bapak yang selalu ingin anak-anaknya sekolah agar pulang dapat membantu dan membangun masyarakat di kampung halamannya.

Salam,
Harry Basuki

TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor: TEMPO
Berita Terkait