Rupiah Melemah, Wapres Imbau Masyarakat Tak Beli Ferrari dan Tas Hermes

TEMPO | 4 September 2018 | 19:50 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Menyikapi melemahnya kurs rupiah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengimbau agar masyarakat ikut berhemat dengan tidak membeli barang mewah impor. Penghematan ini dinilai bisa jadi cara efektif mendukung pemerintah yang tengah berupaya defisit neraca perdagangan agar kurs rupiah bisa kembali stabil.

Cara mengurangi defisit, kata Jusuf Kalla, di antaranya bisa dilakukan dengan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang tidak perlu. "Tak usah Ferrari, Lamborghini masuk dalam negeri. Tak usah mobil-mobil besar yang mewah-mewah, tak usah parfum mahal atau tas Hermes," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 4 September 2018.

Menurut Jusuf Kalla, di tengah perekonomian yang sedang sulit, masyarakat sebaiknya tidak perlu membeli barang-barang mewah apalagi yang harus diimpor. Seiring dengan itu, pemerintah juga terus mendorong agar nilai ekspor bisa surplus.

Kata JK, pada akhirnya selisih nilai ekspor dan impor bisa tidak jauh. "Nah contohnya bagaimana meningkatkan ekspor sumber daya alam, bagaimana pemakaian juga mengurangi impor kita, seperti yang dibicarakan dulu bagaimana biodiesel bagaimana lokal content produk kita makin besar," ujarnya.

Selama ini, Jusuf Kalla menjelaskan,  banyak barang dalam negeri yang diekspor, namun dananya disimpan di luar negeri, seperti Singapura dan Hong Kong. Cara seperti itulah yang justru kerap melemahkan nilai rupiah.

Rupiah siang tadi mulai menguat di kisaran Rp 14.770 pada pukul 11.40 WIB. Pada pembukaan perdagangan yang dilihat dari aplikasi RTI, rupiah dibuka di angka Rp 14.810 per dolar Amerika Serikat. Tercatat pergerakan rupiah siang ini sempat menyentuh nilai Rp 14.849 per dolar AS. Sedangkan nilai terkuat menyentuh Rp 14.760 per dolar AS.

Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, pelemahan rupiah bersumber dari kelemahan dalam perekonomian selama ini ada pada transaksi berjalan. "Ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan, kita itu defisit. Memang ini agak besar, tapi tidak setinggi 2014, tidak setinggi tahun 1994-1995, tidak setinggi tahun 1984," ucap Darmin Nasution.

TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor: TEMPO
Berita Terkait