Sindrom Negatif Seorang Manajer: Dari Sinis, Sombong, Sampai Suka Melecehkan (1)

AURA | 8 Oktober 2016 | 20:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Setiap manajer selalu mempunyai sindrom tertentu. Ada yang merupakan penyakit yang sudah parah, ada yang hanya gejala ringan saja. Bila digabung sindrom para manajer itu menjadi teka-teki yang menyedihkan sekaligus lucu. 

Tidak hanya mereka yang berpangkat manajer, tetapi juga yang bergelar bos, atau para chief executive atau pangkat lain yang serba tinggi di awan. Menurut Dr. Seshadri dalam bukunya Management Lighter and Brighter Sides, ada 10 sindrom yang menjangkiti para manajer, seperti di bawah ini.  

1. Sindrom tergesa-gesa 
Dengan nada tergesa-gesa, di intercom seorang bos minta sekretarisnya untuk mengadakan rapat kilat dengan para kepala bagian. Katanya sangat penting dan mendesak. Sekretaris langsung membuat undangan untuk para kepala bagian, dengan tergesa-gesa pula. Ini emergency meeting tulisnya dengan stres. Saking tergesa-gesanya sekretaris sampai keliru menulis tanggal dan jam. Harusnya tanggal 10 jam 11.00 keliru jadi tanggal 11 jam 10.00.

Sindrom ini sangat banyak menjangkiti para manajer zaman sekarang. Biasanya perintah juga dilewatkan intercom, sehingga gampang keliru. Ini membuat yang lain jadi panik. Meskipun kemudian manajer menumpahkan kesalahannya pada orang lain (misalnya sekretaris), tetapi kesalahan itu sudah berwujud dan merugikan secara keseluruhan. "Saya sudah bilang begitu, tetapi kau malahan bilang sebaliknya!"

PELAJARAN : Hindari instruksi yang tergesa-gesa. Mintalah diulangi sekali lagi agar lebih jelas, terutama bila lewat intercom. Agar bos tidak lebih marah, bila sudah membuat surat, tunjukkan pada bos sekali lagi. 

2. Sindrom bermanja-manja
Ada bos yang terlalu demokratis. Ia sering berpidato yang maksudnya agar "rakyat"-nya lebih dekat dengan dia. "Saya tidak suka seorang pegawai mengatakan 'saya sudah melakukan itu'. Saya lebih suka dia mengatakan 'kami sudah melakukan itu." Mula-mula dampaknya cukup baik, bos ini sangat demokratis. Tetapi lama-lama kebersamaan itu menjadi rancu. 

Bos itu manjadi sulit sendiri. Kenyataannya ada batas yang tidak boleh dihilangkan. Filososi demokratis dan setia kawan ini tidak berlaku, sebab memang manajer itu lain dengan anak buah. Bila disamakan, manajer-lah yang kesulitan. 

Contoh kecil, ketika diadakan pesta kecil di perusahaan itu, bos keliling bertanya ini itu pada anak buahnya. Maka pertanyaanjadi rancu. "Bagaimana kabar kita?" Padahal maksudnya "Bagaimana kabarmu?" Ini malahan menimbulkan suatu hubungan antara teman yang susah dicerna. Kecuali itu tanggung jawab seorang manajer pastilah lain dengan anak buahnya, jadi antara mereka tidak selalu bisa disatukan. 

PELAJARAN : Dia itu manajer, lain dengan dia yang anak buah. Yanga satu memerintah yang lain. Kalau ada "kau" dan "aku", belum tentu menjadi "kami". Maksudnya memang baik, tetapi tidak semua keadaan dapat disama ratakan. 

3. Sindrom musuh-musuhan
Sebenarnya setiap tindakan selalu ada yang sejalan dan ada yang bertentangan. Bagi bos yang punya sindrom ini, semua yang bertentangan seolah harus dimusuhi. Semua dan segala yang bertentangan menjadi permusuhan dengan bos. Contohnya istri bos sedang sakit, bos tidak masuk hari itu. 

Paginya ketika seorang anak buah berbasa-basi apakah bos harus menunggu istrinya yang sakit, bos langsung marah : "Apa urusanmu dengan istri saya ...... Pikirkan urusanmu sendiri!" 
Orang akan pikir-pikir dulu berhubungan dengan orang yang begini atau bawahannya. Sedikit keliru sudah jadi musuh. Padahal semua yang bertentangan belum tentu harus dimusuhi. 

PELAJARAN : Dalam urusan bisnis, semua kemarahn harusnya dipendam
dengan baik, tidak diumbar begitu saja. Ini akan menyulitkan manajemen bos itu sendiri, di samping pandangan orang akan jatuh.  

4. Sindrom sombong-sombongan
Setiap naik pangkat, biasanya seseorang akan dilanda kesombongan. Mungkin kecil dan terkontrol, ada kalanya egonya muncul bukan main besarnya. Manajer yang ini naik pangkat atau tidak  memang bergaya sombong. Sebenarnya semua manajer bila menemui suatu problim, selalu punya cara untuk mengatasainya. 

Tetapi manajer yang ini ditambah dengan komentar-komentar bernada kesombongan. Misalnya ketika ada suatu penurunan produksi, manajer bilang : "Sebenarnya saya sudah menerka akan begini ......" atau "Ketika saya memimpin pabrik lain, saya sudah mengalami yang seperti ini." Cerita tentang "saya" itu tidak menimbulkan simpati di telinga pendengarnya, tetapi sebaliknya membuat dongkol.    

PELAJARAN : Ego tidak perlu ditonjolkan. Cerita boleh saja, tetapi tidak perlu menjadikan pencerita seorang pahlawan. Ingat : penghargaan bisa diberikan tetapi tidak bisa diminta. Jadi yang penting tindakan yang positif.            

 

AURA.CO.ID

 

Penulis : AURA
Editor: AURA
Berita Terkait