FITRA: Kenaikan Biaya STNK dan BPKP Kado Pahit Buat Rakyat di 2017

TEMPO | 6 Januari 2017 | 10:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Kebijakan pemerintah yang menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan menaikkan tarif pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) menjadi kado pahit untuk rakyat. Kebijakan itu diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2016.

"Keinginan untuk menaikkan PNBP kendaraan ini tidak adil bagi rakyat. Ini kado yang sangat pahit buat rakyat di tahun 2017," ujar Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Soecipto di Jakarta, Kamis 5 Januari 2017.

Yenni menambahkan, memang disadari bahwa  pemerintah membutuhkan dana  yang cukup banyak dalam pembiayaan infrastruktur sekitar Rp 4.000 hingga Rp 5.000 triliun. Namun pemerintah tidak bisa begitu saja mengeluarkan kebijakan dengan dalih mengoptimalkan penerimaan negara.

Menurut Yenni, target PNBP dari PP Nomor 60/2016 sebesar Rp 1,6 triliun jauh lebih kecil dibandingkan potensi penerimaan dari sektor kehutanan yang mencapai Rp 33 triliun.

Pemerintah menaikkan tarif PNBP melalui PP Nomor 60 Tahun 2016. Salah satu ketentuan itu mengatur PNBP atas Penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Penerbitan Buku Pemilik Kendaraan bermotor (BPKB).

Dalam ketentuan mengenai penerbitan STNK, untuk kendaraan bermotor roda dua atau roda tiga, untuk baru per penerbitan atau perpanjangan per lima tahun dikenakan biaya Rp 100 ribu. Padahal sebelumnya dalam ketentuan mengenai penerbitan STNK tarif yang dikenakan hanya Rp 50 ribu.

Hal yang sama juga berlaku untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih, untuk baru per penerbitan atau perpanjangan per lima tahun dikenakan biaya Rp 200 ribu dari sebelumnya Rp 75 ribu.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2016 itu mengatur jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan itu berlaku efektif per 6 Januari 2017.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan PNBP  dalam hal ini adalah tarif yang ditarik kementerian/lembaga dan harus mencerminkan jasa yang diberikan. "Jadi dia harus menggambarkan pemerintah yang lebih efisien, baik, terbuka, dan kredibel," kata Sri Mulyani di Jakarta, Rabu 4 Januari 2017.

Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PNBP merupakan kewajaran karena terakhir kali tarif tersebut mengalami penyesuaian pada 2010 dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan terkini yang dinamis. “Ini sudah tujuh tahun. Jadi untuk tarif PNBP di kementerian/lembaga memang harus disesuaikan karena faktor inflasi dan untuk jasa pelayanan yang lebih baik," ujarnya.

 

TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor: TEMPO
Berita Terkait