Amalia E. Maulana: Perempuan yang Jadi Pionir Ethnography Marketing Indonesia

Wayan Diananto | 6 April 2017 | 07:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Perempuan ini dikenal sebagai si “pembabat alas”. Ketika mayoritas perempuan berpuas diri saat menggapai cita-cita sebagai marketing consultant, Amalia E. Maulana (53) berupaya mengawinkan ilmu pemasaran dengan etnografi. Banyak orang yang menyangsikan keputusan Amalia. Namun, waktu menguji idenya. Kini banyak perusahaan multinasional menghargai, bahkan menaruh kepercayaan pada kecerdasan dan profesionalismenya. Inilah sepenggal kisah Amalia.

    
Sekarang Atau Tidak Sama Sekali

Sebelum mendirikan Etnomark Consulting pada 2009, Amalia bekerja di perusahaan kenamaan seperti Unilever, Frisian Flag, dan Reckitt Benckiser. Setelah menahun merintis karier di perusahaan orang, terlintas ide untuk menulis episode baru dalam hidupnya. 

Ia berpikir, kalau bekerja lagi di perusahaan orang, disiplin ilmu yang didapat di bangku universitas hanya akan dinikmati oleh satu institusi. Dengan mendirikan perusahaan sendiri, lebih banyak perusahaan yang beroleh manfaat dari ilmu Amalia. Ia kemudian berkonsultasi kepada kakaknya. 

“Sudah berkali-kali saya diskusi dengan kakak sampai akhirnya dia bilang begini, 'Saya bosan kamu konsultasi melulu. Ini terakhir ya, kamu konsultasi dengan saya. So, it's now or never,” terang Amalia di Jakarta Selatan, pekan lalu. Kalimat itu membuka mata hatinya. Sejak itu, ia membuat keputusan besar: Ok, it's now!    

Sekembalinya dari School of Marketing, UNSW, Sydney Australia pada 2006, ia mencetak kartu nama dengan jabatan marketing consultant. Tak lama setelah mencetak kartu nama baru, pemikiran lain datang. Dengan menjadi marketing consultant, sejatinya Amalia hanya menambah panjang daftar manusia dengan profesi marketing consultant di negeri ini. 

“Kalau masuk di barisan marketing consultant yang panjang itu, giliran saya bersinar kapan? Lalu saya bertanya kepada diri sendiri, apa yang dibutuhkan oleh industri yang saya bisa dan oleh lain belum terpikirkan. Lalu, saya meriset value gap. Inilah benefit yang belum diberikan marketing consultant lainnya,” terang perempuan kelahiran Malang, 12 Oktober itu.

Di Australia, Amalia belajar ilmu etnografi marketing. Ia percaya, marketing tanpa etnografi tidak akan mampu memahami persoalan konsumen sampai ke akar-akarnya. Itu sama seperti jika ingin mengenal suku asing, maka Anda harus tinggal bersama mereka. Bukannya membuat survei untuk diedarkan ke kepala suku dan para pengikutnya. Memahami konsumen tak cukup dengan survei. Karena ada banyak dinamika yang tidak terbaca oleh survei. 

“Karenanya, saya 'meminjam' ilmu antropologi budaya bukan untuk memahami suku asing melainkan perilaku dan kehidupan mereka. Klien pertama saya adalah Tupperware Indonesia. Saat itu mereka diminta headquarters untuk melakukan studi etnografi. Mereka ingin tahu bagaimana perilaku konsumen Indonesia dalam membeli peranti makan,” Amalia mengenang.
    
    
Membangun Kesadaran Membutuhkan Kesabaran

Ia menambahkan, “Menarik, ketika perusahaan yang sudah maju ingin tahu kondisi konsumennya. Biasanya, perusahaan dalam kondisi “sakit” baru ingin tahu konsumennya seperti apa? Dibutuhkan lima kali pertemuan. Akhirnya, saya mengerjakan penelitian. Saya menemukan banyak hal di lapangan yang sangat insightful. Dari situ saya makin yakin, jika tidak masuk ke kehidupan konsumen, kita akan terus memakai cara lama dalam memenuhi kebutuhan konsumen.”

Artinya, kunci etnografi adalah riset. Namun, riset hanyalah alat. Elemen lain yang tak kalah penting, perubahan pola pikir. Amalia memberi contoh, ada banyak klien yang merasa riset bisa berjalan dengan sendirinya. Hasil akan muncul dengan sendirinya. Tak perlu tatap muka dan diskusi berkali-kali dengan pihak peneliti. Sementara Amalia menganggap sangat penting bertemu dengan key person perusahaan sebelum memulai riset terhadap konsumen dan produk.

Amalia berprinsip, jika tidak bisa bertemu dengan key person perusahaan, lebih baik tidak meriset. Karena riset gunanya untuk melihat sesuatu yang mereka tidak terlihat. Kalau key person tidak masuk ke dalam proses riset, mereka tidak akan “tune in” dengan proses meriset. 

“Meski dibayar mahal pun saya lebih baik tidak. Ibaratnya saya ini dokter. Pasien saya kena maag. Saya memberi obat paling ampuh namun pasien tidak mau mengubah pola makan dan gaya hidup. Mau diberi obat samahal apa pun, ia akan tetap berbalik ke penyakitnya,” Amalia menukas. 

Untuk membangun kesadaran dibutuhkan kesabaran. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun. Amalia melakoninya dengan sabar. Komitmen dan dedikasi pada akhirnya mengantarnya meraih banyak pencapaian. Pada 2015 misalnya, Etnomark membantu Nexcare dari 3M Indonesia untuk mencari tahu insights dan needs apalagi yang bisa diberikan kepada konsumen. 

    
Buku dan Me Time

Ada banyak pertanyaan dari klien menanti jawaban. Di antaranya, dari segi kemasan apakah sudah cukup jelas? Apakah komunikasi yang ada pada kemasan produk masker Nexcare yang ada saat ini sudah bisa diterima dengan baik? Penelitian Etnomark mendapatkan temuan bahwa wanita berhijab memiliki kebutuhan khusus dalam pemakaian masker. Yakni, tali elastis yang mudah tanpa harus membuka hijab. Tujuannya, agar pemakaian masker yang nyaman. 

Tim Nexcare menindaklanjuti temuan itu dengan menghadirkan produk yang lebih ramah untuk wanita berhijab. Produk ini disambut baik konsumen. Fakta lain yang ditemukan, pengendara motor memiliki kebutuhan masker yang lebih spesifik, untuk menangkal asap knalpot sepeda motor pengguna jalan lain serta debu. Lalu diluncurkanlah produk baru bernama Masker Bebas Polusi.

“Pada akhirnya, jika sebuah produk dibuat namun tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen maka ia gagal. Pun kalau produknya bagus namun tidak dipromosikan dengan efektif, ia juga gagal. Produksi dan promosi itu kegiatan yang bersifat costly,” Amalia menyimpulkan.

Selain membagi pengalaman dan pemikiran kepada klien, Amalia menuangkan ilmunya lewat buku yakni Brandmate dan buku untuk umum bertajuk Personal Branding: Membangun Citra diri yang Cemerlang. Ia kemudian dikenal sebagai pionir di bidang Ethnography Marketing di Tanah Air. 

Pencapaian sebesar ini tak membuat Amalia lupa diri. Bagaimana pun, ia seorang perempuan, istri, juga ibu bagi anak-anak. Layaknya perempuan pada umumnya, Amalia memiliki kelompok arisan di komplek rumahnya. Ia menjadikan momen arisan sebagai “me time”. 

“Setiap tutup tahun, kami pergi ke luar kota atau luar negeri. Tahun lalu misalnya, kami jalan-jalan ke Yogyakarta. Saya menikmati hidup di dua dunia. Dunia etnografi dan dunia keibuan. Sebagai ibu saya senang line dance. Tidak pernah bosan. Saya juga suka masak. Menu kesayangan saya, nasi kabuli,” pungkas Amalia. 

(wyn/ari)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait