Bukan Cuaca, LAPAN Sebut 3 Kemungkinan Penyebab Jatuhnya Lion Air JT 610

TEMPO | 11 November 2018 | 20:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), cuaca bukanlah penyebab jatuhnya Lion Air JT 610. Tim peneliti kebencanaan pesawat dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN memeriksa tiga faktor kemungkinan.

Anggota tim peneliti Erma Yulihastin mengatakan, pertanyaan riset terkait dengan kondisi atmosfer dengan insiden itu. Pesawat dengan registrasi PK-LQP jenis Boeing 737 MAX 8 penerbangan Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkalpinang itu berangkat Senin, 29 Oktober 2018 pukul 06.10 WIB dari Bandara Soekarno-hatta. Pesawat yang mengangkut 189 orang penumpang itu jatuh beberapa menit kemudian di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Tim melakukan pengolahan data dari beberapa peralatan, pengamatan, termasuk konfirmasi data model atmosfer dari Sadewa (Satellite-bassed Disaster Early Warning System), dan melakukan eksperimen khusus dengan resolusi 1 kilometer. Tujuannya agar tim bisa melihat lebih detil kondisi di sekitar lokasi. “Kami berusaha mendeteksi tiga fenomena yang biasanya menggangu pesawat sehingga menimbulkan kecelakaan,” katanya kepada Tempo, Jumat, 9 November 2018.

Fenomena pertama terkait dengan downburst, atau hempasan angin ke bawah yang menyebabkan penyimpangan angin yang sangat kuat. “Seolah-olah pesawat itu dihempaskan oleh angin dari arah atasnya. Dari kajian tim, potensi downburst itu kecil karena tidak ada angin yang terlalu kuat di lapisan lokasi pesawat berada. Angin saat itu pada ketinggian 1,5 hingga 2 kilometer cenderung tenang dan kecepatannya kecil. “Sekitar 2 meter per detik saat kejadian sekitar jam 6 pagi.”

Kemungkinan kedua yaitu fenomena clear air turbulence. “Turbulensi parah yang dapat terjadi pada daerah yang tanpa awan,” kata Erma. Secara visibilitas tidak ada awan juga tidak terdeteksi awan oleh radar pesawat. Tapi ada turbulensi yang sangat parah sifatnya yang sangat berbahaya buat penerbangan.

Tim berusaha melihat potensi itu dengan menghitung indeks. Perolehan nillai perhitungannya berdasarkan model adalah 20 atau sangat tinggi. “Sementara kalau terjadi clear air turbulence (CAT) itu harus kurang dari 0,25. Dengan kata lain, potensi adanya CAT tidak ada,” ujarnya.

Kemudian yang ketiga tim ingin melihat terjadinya microburst yang dicirikan oleh pertumbuhan awan kumulonimbus yang sangat cepat. Terjadinya pertumbuhan awan mengindikasikan kondisi atmosfer yang tidak stabil. “Data kami menyimpulkan bahwa untuk fenomena petumbuhan awan itu tidak ada.”

Pertumbuhan awan diketahui pada pukul 02.00 – 04.00 WIB. Tim menggunakan data resolusi yang sangat tinggi dari satelit Himawari yang khusus memantau awan. “Jam lima peluruhan awan, jam enam relatif bersih dari awan,” katanya.

Fenomena microburst hampir tidak terjadi. Sisi stabilitas atmosfer juga dicek dengan beberapa parameter, hasilnya tidak menunjukkan adanya gerakan pengangkatan udara ke atas yang artinya tidak ada pertumbuhan awan. “Kami juga deteksi kemungkinan cuaca buruk seperti badai guntur itu juga tidak ada,” ujar Erma.

TEMPO.CO

Penulis : TEMPO
Editor: TEMPO
Berita Terkait