Perjalanan Panjang Iqbaal Ramadhan, Hanung Bramantyo, dan Pramoedya Ananta Toer

Wayan Diananto | 10 Juni 2018 | 09:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Falcon Pictures bukan rumah produksi pertama yang mengincar Bumi Manusia, novel legendaris yang ditulis Pramoedya saat diasingkan di Pulau Buru, Maluku, pada era 1970-an. Buku ini dirilis pada 1980, disambut hangat lalu dicetak ulang hingga 10 kali.

September 1981, novel ini dilarang beredar oleh pemerintah. Sejumlah artikel menyebut, larangan itu sepenuhnya keputusan politik, tidak ada sangkut pautnya dengan aspek sastra maupun kajian ilmiah.

Romantika perjalanan Bumi Manusia inilah yang membuat sejumlah insan film Indonesia berambisi untuk mengangkatnya ke layar lebar. Pada 2004 misalnya, produser Hatoek Soebroto meminang buku Pramoedya untuk difilmkan. Namun mimpi menembakkan kisah Minke ke layar putih saat itu kandas. Sekitar tahun 2010, saat berkunjung ke kantor Miles Films, kami mendapati papan berisi konfigurasi pemain Bumi Manusia dan denah lokasi syuting. 

Mira Lesmana dan Riri Riza bermaksud memfilmkan novel yang telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa itu. Sayang, urung terlaksana karena banyak faktor, salah satunya biaya. Pada 2014, Erica menemui putri Pramoedya, Astuti Ananta Toer. Kala itu, Erica bermaksud membeli lisensi buku Gadis Pantai.

Buku ini tidak kalah kontroversial. Jilid kedua dan ketiganya konon dibakar aparat pada 1965. Saat itu, Astuti memberi tahu Erica, “Ih, jangan Gadis Pantai. Sudah tidak 'in' dan susah nanti produksinya. Buku Perburuan saja, nih.” Akhirnya, Erica membawa pulang buku Perburuan. Setelah membaca, beberapa hari kemudian ia kembali ke kediaman Astuti untuk mengurus lisensi. 

“Hari itu, Bu Astuti bilang begini, 'Kamu mau lisensi buku Bumi Manusia sekalian, enggak?' Saya syok lalu menjawab, 'Hah, bukannya lisensi buku itu dimiliki Pak Hatoek Soebroto?' Ternyata sudah habis masa lisensinya dan buku itu bebas. Tidak perlu berpikir dua kali, jelas saya mau Bumi Manusia. Di sisi lain, saya mendengar Hanung mengejar Bumi Manusia sejak usia 19 tahun kalau enggak salah. Dia pernah mendatangi Pak Pram semasa hidupnya dan meminta izin memfilmkan Bumi Manusia. Artinya, dia punya visi untuk film ini.” Erica menjelaskan.

Dari 2014, Bumi Manusia baru dieksekusi tahun ini. Apa yang membuat persiapan film ini sangat lama? Erica mengakui, salah satunya faktor biaya. Bujet produksi Bumi Manusia yang terbesar yang pernah dikucurkan Falcon Pictures. Film yang mengisahkan kurun waktu tertentu memang menuntut latar lokasi serbadetail. Lokasi syutingnya tidak mungkin di Jakarta. 

Hanung dan tim membangun ulang peradaban Bumi Manusia di Yogyakarta di atas lahan seluas 2,3 hektare. Butuh waktu 5 bulan untuk menyelesaikan pembangunan Selain Yogyakarta, Hanung dan Iqbaal akan syuting di Semarang dan Belanda. 

“Saya sadar film ini mendapatkan banyak pertentangan. Itu pelajaran buat saya. Ini momentum yang tepat untuk mengatakan bahwa saya berani melawan (keraguan khalayak). Bukan soal menang atau kalah tapi soal keberanian. Ini pula yang menjadi premis film Bumi Manusia. Dengan melawan maka kami menjadi terhormat. Saya memulai persiapan untuk mewujudkan Bumi Manusia di era 1800-an, ketika kata-kata modern kali pertama muncul,” terang Hanung kepada Bintang.

Tidak hanya itu, Rabu (30/5), Erica terbang ke Belanda untuk merekrut 20 aktor profesional. Kedua puluh aktor itu nantinya akan diterbangkan ke Kota Gudeg untuk memperkuat konfigurasi pemain. Erica tidak asal pilih bule.

“Orang bilang pilih saja bule sembarang nanti dikursus Bahasa Belanda. Saya maunya aktor profesional yang fasih berbahasa Belanda untuk mengirim pesan dan emosi kepada penonton. Kami berusaha setia terhadap novelnya sama seperti saat menggarap Dilan 1990,” terang Erica.

(wyn / gur)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait