Berawal dari Rujak, Swan Kumarga Berjuang 30 Tahun Membesarkan Dapur Solo

Indra Kurniawan | 5 Maret 2019 | 23:15 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Perjalanan ibu Karina Rosalin Kumarga mendirikan Dapur Solo berawal dari usaha rujak buah di garasi rumah di kawasan Sunter, Jakarta Utara, dengan modal 100 ribu rupiah pada 1988 silam. Namanya iseng, wanita asal Solo ini tidak mematok target penjualan rujak, yang per bungkusnya dihargai 300 rupiah. 

“Dulu belum ada Instagram. Jadi supaya orang tahu di garasi rumah saya berjualan, saya menyebar brosur tiap sore di perumahan tempat saya tinggal. Dari situ orang mulai telepon untuk pesan rujak hasil bikinan saya sendiri. Begitu ada yang pesan, saya mengulek sendiri, setelah itu saya antar sendiri naik sepeda,” jelas pemilik nama lengkap Swandani Kumarga. 

Dua bulan pertama rujak Swan Kumarga dicari. Tidak di bulan ketiga. “Karena rujak bukan makanan utama, jadi cepat susut pembelinya. Saya berpikir, mau menjual apa lagi,” beri tahunya. Agar usahanya bernapas lagi, ia menjual gado-gado. “Saya pilih gado-gado karena bisa menjadi teman makan nasi,” cetusnya.

Bulan ketiga terulang lagi, pembeli sepi. Swan tidak putus asa. Ia memutuskan menambah dagangan, dengan membuat bubur kacang hijau, kolak pisang, dan ayam kalasan. “Ditambah secara bertahap, tidak sekaligus,” Swan menyatakan.

Tiga bulan  berlalu, Swan mulai memiliki pelanggan tetap. Pada 1988, Swan memberanikan diri membeli sebuah ruko di kawasan Sunter. 

Di ruko, Swan menjual beragam makanan khas Jawa seperti nasi langgi, pecel, gudeg, hingga wedang ronde. “Dari situ orang mengenali saya sebagai Si Solo. Beli makanan di Si Solo saja, kata mereka,” kata Swan.

Pada 2004, Swan Kumarga melabeli usahanya dengan nama RM Solo. Tahun ke-17, suami turun tangan membantunya. Pada 2006, RM Solo melakukan rebranding dengan berganti nama menjadi Dapur Solo. “Setelah itu kami pindah ke ruko yang besar ini,” ungkap Swan. 

Kini, omzet rumah makan yang menawarkan puluhan jenis makanan dan minuman khas Solo itu ratusan juta rupiah per hari, dengan jumlah karyawan ratusan orang.

“Omzet (per gerai) harus dapat di atas 5 juta per hari. Kalau enggak, enggak bisa untung atau menutupi ongkos-ongkos operasional,” kata Swan.

(ind / gur)

Penulis : Indra Kurniawan
Editor: Indra Kurniawan
Berita Terkait