Pierre Coffin, Sutradara "Minions" ini Putra Sastrawan Nh. Dini

Binsar Hutapea | 4 Juli 2015 | 06:34 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - PARA makhluk mungil dan lucu berwarna kuning beraksi kembali. Kali ini lewat Minions. Berbeda dengan dua film terdahulu, Despicable Me (2010) dan Descapible Me 2, mereka tak lagi bertualang dengan sang majikan Felonious Gru dan ketiga anak angkatnya: Margo, Edith, dan Agnes. Maklum, seri ini menampilkan petualang minion--khususnya Kevin, Stuart, dan Bob--berpuluh tahun sebelum mereka bersua dengan Gru.                         

Minions masih disutradarai duet Chris Renaud dan Pierre Coffin (48). Nama yang disebut terakhir juga masih merangkap pengisi suara minion.

Fakta yang menarik, Pierre ternyata berdarah Indonesia. Dia putra Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama Nh. Dini, penulis yang pernah merilis karya sastra seperti Pada Sebuah Kapal (1972),  La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), dan La Grande Borne (2007).

Pierre berkebangsaan Prancis. Ayahnya, Yves Coffin, bekerja puluhan tahun sebagai diplomat. Karena berprofesi diplomat, Pierre sering berpindah tempat tinggal. Dia pernah menetap di Jepang, Vietnam, AS, dan berbagai negara lainnya. Walau berada dalam lingkup “kehidupan” internasional, sang ibunda tetap mengajarkan beberapa hal perihal Indonesia.  

"Saya ingat ketika masih kecil, ibu saya sering membawa saya ke Kedutaan Besar Indonesia di negara kami menetap, saya ingat semua yang dilakukan. Sampai sekarang saya masih ingat irama musik tradisional Indonesia. Makanan Indonesia, buat saya adalah hidangan paling enak di seluruh dunia. Dan bahasa Indonesia, menurut saya adalah bahasa yang sangat indah, seperti alunan musik,” kata penggemar nasi goreng ini seperti dikutip dari laman VOA Indonesia.

Sekitar tahun 1984, ayah dan ibunda Pierre memutuskan bercerai. Ibundanya pulang ke Indonesia, sementara Pierre dan ayahnya menetap di Prancis.

Menjadi sutradara impian Pierre sejak kecil. Namun ia kesulitan menyalurkan minatnya karena terbentur masalah biaya.

“Saya tak memiliki kamera canggih seperti yang dimiliki teman-teman saya yang kaya-raya. Jadi saya bercerita dengan gambar--ya, saya berusaha menggambar,” kata pria bernama lengkap Pierre-Louis Padang Coffin ini.

Demi mewujudkan cita-citannya, ia lalu mengambil kuliah di jurusan film. Namun, Pierre tak kerasan kuliah di jurusan itu. Ia merasa, jika terus kuliah di sana maka kelak hanya menjadi dosen di kampusnya menuntut ilmu. 

“Pengalaman kuliah di sana sempat membuat saya kecewa. Beruntung ada teman yang memberitahukan tentang Gobelins (kampus seni visual di Paris, Prancis, yang memiliki salah satu departemen animasi terbaik di dunia).  Saya pergi ke sana dan melihat banyak orang bekerja, menggambar, dan berusaha menghidupkan gambar. Itu pengalaman yang sangat membuka mata saya. Sejak itulah saya merasa inilah dunia yang saya inginkan,” bebernya. Pierre akhirnya mendaftar sebagai murid di Gobelins. 

Tiga tahun menimba ilmu, ia dipercaya sebuah perusahaan berbasis di Inggris, Ablamation, untuk menggarap animasi 2D We're Back! A Dinosaur's Story (1992). Pemilik Ablamation, Steven Spielberg, kemudian menutup studio itu.

Pierre Coffin lalu membuka studio serupa di AS dengan nama DreamWorks. Dari Ablamation, Pierre pindah ke Ex Machina, perusahaan yang memfokuskan pada animasi 3D. 

“Saya lebih menyukai animasi 3D karena pada dasarnya saya adalah seorang geek.  Lewat animasi 3D, saya tetap bisa menuturkan cerita tanpa harus khawatir pada teknik menggambar saya yang tak terlalu bagus,” ungkap Pierre. 

Jumlah perusahaan animasi yang sedikit mempuat Ex Machina dan Pierre mulai dikenal luas. Pada 2008, Illumination Entertainment mengumumkan proyek animasi Despicable Me. Pierre dan Chris Renaud dipercaya menjadi sutradara. 

“Tadinya kami menampilkan minion seperti makhluk troll besar, tapi ide itu dianggap kurang menarik. Akhirnya kami mencoba mengecilkan ukurannya, seperti manusia, tapi jauh kecil. Ya, seperti makhluk bawah tanah--itu sebabnya minion digambarkan memakai goggle. Tapi ternyata masih kurang lucu, akhirnya tubuh mereka dibuat seperti berbentuk pil. Ketika tes animasi pertama Despicable Me, saya sangat takjub dengan hasilnya. Mereka sangat lucu dan ekspresif. Kami lalu berpikir mereka harus mendapat tempat lebih banyak di film ini,” terang Pierre panjang lebar.

Ketika membuat versi awal minion, Pierre dan  Chris mengalami sedikit kendala. Seperti apa suara para minion ini? Mereka menghubungi beberapa penata suara, tapi ide mereka  dianggap tak cocok dengan bentuk minion.

 “Ada yang kedengaran aneh, kedengaran terlalu sci-fi, dan ada pula yang suaranya tak terdengar lucu, padahal dalam bayangan kami minion adalah makhluk yang menggemaskan,” paparnya.

Akhirnya, pria berambut putih ini memutuskan mengisi suara minion. Kebetulan, dalam beberapa proyek animasi untuk iklan, Pierre sering menyisipkan suaranya. Hasilnya, dia kemudian ditunjuk mengisi suara minion.

“Bahasa minion campuran Spanyol, Prancis, Inggris, Rusia, Korea, Tiongkok, dan Indonesia. Menggunakan bahasa sebanyak itu karana kami ingin membuat karakter minion seinternasional mungkin,” lanjutnya. 

Tidak mengherankan dalam Despicable Me juga Minions kemarin, terdengar kata-kata yang familier di telinga kita. Seperti dalam Minions, ketika Bob menerima mahkota kecil dari Ratu Elizabeth II, dia mengucapkan, “Terima kasih, terima kasih.”

Despicable Me mendapat respons yang bagus secara komersial, begitu juga dengan seri keduanya--dan tentu saja prekuelnya yang baru saja rilis. Sayang, di tengah kisah sukses sang sutradara, terselip kisah miris. Ibunda Pierre, Nh.Dini hidup dengan sederhana di Sleman, Yogyakarta.

Wanita kelahiran Semarang, 29 September 1936 itu juga tengah melawan penyakit hepatitis B dan batu empedu. Karena tak memiliki dana untuk pengobatan, dia sempat dibantu Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto.

(bin/gur)                 

 

Penulis : Binsar Hutapea
Editor: Binsar Hutapea
Berita Terkait