RESENSI FILM Elliot the Littlest Reindeer, Pesan Positif dengan Eksekusi Seadanya

Panditio Rayendra | 21 Desember 2018 | 21:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Film bernuansa Natal, Elliot the Littlest Reindeer, mengusung tema yang cukup menarik: kuda yang ingin menjadi rusa pengantar Sinterklas.

Elliot (diisi suara Josh Hutcherson), adalah kuda poni yang penuh percaya diri dan selalu ceria. Ia ingin menjadi binatang yang menarik kereta Sinterklas untuk membagikan kado saat Natal. Diceritakan, seekor rusa yang telah lama mendampingi Sinterklas memilih pensiun. Untuk mencari rusa pengganti, diadakan kontes bak ajang cari bakat yang menjamur di TV. Elliot bersemangat mengikuti audisi ini. Saat rusa dan sesama kuda mencemoohnya, Elliot mendapat dukungan dari Hazel, seekor kambing yang tinggal di peternakan yang sama.

Dengan durasinya yang tergolong sebentar, 89 menit, Elliot the Littlest Reindeer menyuguhkan permasalahan yang beragam. Selain hasrat Elliot untuk menjadi 'rusa', ada karakter Walter (Rob Tinkler), pemilik peternakan. Walter yang merupakan atlet gagal, berniat menjual peternakan yang diwariskan padanya. Ini membuat binatang di sana cemas. Apalagi sang pembeli, Ludzinka, terlihat angkuh dan berniat buruk. Ada pula seorang jurnalis Jolene yang melakukan peliputan di kontes rusa, serta DJ seorang rusa sombong yang sebenarnya tertekan dengan harapan sang ayah terhadapnya.

Konflik yang bermacam ini, malah membuat sutradara Jennifer Westcott seperti bingung hendak menonjolkan yang mana. Beberapa konflik akhirnya dibuat selesai terlalu mudah. Dunia imajinasi yang ditawarkan Elliot the Littlest Reindeer pun terkesan membingungkan. Lokasi peternakan dan cerita Sinterklas mengantar kado mungkin terdengar klasik. Namun penonton juga disuguhi kendaraan canggih, berupa mobil tapi bisa terbang seperti roket yang dipakai karakternya untuk bepergian, sampai adegan sekelompok binatang.

Animasi Elliot the Littlest Reindeer masih terasa kasar. Beberapa karakter tampak seperti plastik. Ekspresi sedih atau senang terlihat hampir sama. Pilihan gradasi warna antara karakter dan lokasi terkadang juga terlalu kontras, tak nyaman dipandang mata.

Pesan yang hendak disampaikan jelas, jangan takut untuk bermimpi dan mengejarnya. Namun ketika yang menjadi contohnya seekor kuda ingin berperan sebagai rusa sampai harus menyamar, rasanya terlalu memaksakan.

Terlepas dari beberapa hal yang membingungkan dan kekurangan dari segi teknis, Elliot the Littlest Reindeer menawarkan alur yang cepat, tak bertele-tele. Jika tujuannya agar penonton anak tidak cepat bosan, mungkin efektif. Tapi dengan banyaknya konflik dan referensi yang mungkin hanya nyambung bagi orang dewasa seperti kontes cari bakat dan peran makhluk hidup yang tergantikan mesin, apakah anak kecil masih bisa menikmati?

(ray/ray)

Penulis : Panditio Rayendra
Editor: Panditio Rayendra
Berita Terkait