Last Knights: Budget Tidak Fantastis, Tapi Tak Layak Direndahkan

Wayan Diananto | 3 Juli 2015 | 16:04 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - RELEVANSI tema film ini dengan pemerintahan negeri kita yang (katanya) sedang gencar memerangi korupsi dan suap bagai sebilah pedang yang siap menusuk nurani.

Sebuah film dengan budget tidak fantastis, yang tak layak direndahkan. Meski sejumlah karakter antagonisnya bermain terlalu komikal, Last Knights adalah pilihan alternatif yang di luar dugaan, cukup mencengangkan.

Di Indonesia, film ini tidak terlalu terdengar gembar-gembornya. Maklum, Last Knights dirilis 15 April lalu di negara asalnya. Sementara di Tanah Air, baru dilepas ke bioskop pada Selasa (30/6) di sela sumpeknya persaingan Terminator Genesys melawan Minions.

Tampaknya, film ini dirilis dengan maksud “menambal” beberapa teater (termasuk studio The Premiere) yang semula dipakai Minions dan Jurassic World, namun minggu ini mulai sepi penonton.

Kisahnya dimulai pada suatu siang, ketika Menteri Gezza Mott (Aksel) mengirim utusan kepada Lord Bartok (Morgan). Surat itu diterima oleh tangan kanan Bartok, Komandan Raiden (Clive). Isinya, perintah menghadap ke Ibu Kota, ke kediaman Gezza.

Tujuannya, membahas revisi undang-undang yang berkaitan dengan pajak. Bartok mencium aroma keculasan dalam surat itu. Ia tahu, inti dari revisi itu adalah upaya peningkatan jumlah pendapatan sang menteri.

Jika tidak ingin mendapat beban pajak lebih besar di kelak kemudian hari, maka Bartok harus menyuap Gezza. Tidak ingin tirani dan suap merajalela, Bartok menyatakan sikap tegas: menolak. Ia datang ke puri Gezza dengan upeti berupa jubah. Jubah yang menurut Gezza harganya tak seberapa itu dianggap sebagai penghinaan. Dalam pertemuan empat mata, terjadi insiden. 

Bartok yang dipukuli Gezza sampai menghunus pedang lalu mengacungkannya ke muka Gezza. Menteri itu kemudian mengadu ke Kaisar (Peyman Moaadi). Perlawanan Bartok itu berakibat fatal. Ia divonis mati. Selain itu, klan Bartok diusir dari wilayahnya sendiri. Putri Bartok, Lily (Rose) dijadikan pelacur. Ada harga untuk sebuah keserakahan dan politik kotor yang diterapkan menteri.

Sebagai alternatif di tengah dominannya Terminator dan Minions, Last Knights mempunyai sisi plus dan minus. Minus terletak pada penampilan karakter antagonis yang terlalu tipikal dan cenderung karikatural. Dalam diam pun, tergambar jelas bahwa Aksel jahat, sementara Peyman tipikal yang main aman. Artinya, jangan harap akan ada twist dalam kisah yang (sebenarnya) kurang tergambar jelas latar dan kronologi waktunya ini. Bagian serunya, kejelian duo penulis naskah Michael-Dove menata alur.

Konspirasi, dendam, ketakutan, dan strategi menuntut balas dijabarkan dengan amat gamblang. Tidak butuh kecerdasan ekstra untuk mencerna cerita. Namun, ada “bumbu rahasia” yang diam-diam ditabur Michael-Dove ke dalam adonan kisah Raiden yang membuat kami merasa hanyut dalam emosi, khususnya setelah klan Bartok terusir. Setelah fase itu, sejumlah karakter terlihat berkembang. 

Karakter Auguste (Sung-Kee) sejak melihat pedang yang dibawa Raiden terus bertumbuh. Ia mengkondisikan penonton tidak bisa 100 persen membencinya. Kita dipaksa berempati pada posisinya. Begitu pun Raiden dan istrinya. Meski perjalanan cinta mereka tidak banyak, namun porsi kecil itu cukup untuk memberi gambaran bagaimana cinta dan pengorbanan itu dijalin dan dijalankan.

Tidak semua aktor dan aktris di film ini tampil mengecewakan. Morgan dengan reputasi Oscar lewat Million Dollar Baby masih mampu menunjukan kharisma kepemimpinan. Adegan pembelaaan diri dan pengungkapan alasan di hadapan kaisar mempresentasikan berada di level mana Morgan sebenarnya. Departemen akting menjadi titik kuat sekaligus titik lemah film ini.

Last Knights di negeri asalnya maupun di Indonesia bukan pilihan pertama. Namun, dengan lambatnya pergantian film di jaringan bioskop serta absennya film Indonesia hingga 15 Juli mendatang, film ini layak untuk dimasukan dalam daftar tontonan Anda minggu ini. Jadi, mengapa tidak dicoba? Apalagi Clive entah mengapa di beberapa adegan terlihat menggoda. Halah... teteup... 


(wyn/gur)

 

Pemain : Clive Owen, Morgan Freeman, Aksel Hennie, Sung-Kee Ahn, Rose Caton, Cliff Curtis

Produser : Luci Y. Kim

Sutradara : Kazuaki Kiriya 

Penulis : Michael Konyves, Dove Sussman

Produksi : Luka Productions, Czech Anglo Productions

Durasi : 115 menit

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait